Ketika Integritas Dikalahkan oleh Intervensi

LPM Al-Itqan – Dalam setiap pemilihan, kepercayaan adalah fondasi. Tanpa itu, seluruh proses hanya menjadi panggung sandiwara yang kehilangan makna, dan sayangnya itulah yang kini terjadi pada pemilihan formatur HMPS KPI, dimana sebuah proses yang seharusnya menjunjung profesionalitas, justru tercoreng oleh ketidakonsistenan dari lembaga yang mestinya menjadi penjaga integritas KPU.

Awalnya, semuanya terlihat jelas dengan KPU menyatakan bahwa berkas salah satu pasangan calon adalah sah, lengkap, dan memenuhi syarat. Keputusan yang semestinya final itu bahkan telah disampaikan kepada publik. Namun, kejelasan itu mendadak berubah ketika intervensi mulai masuk dari berbagai arah baik dari suara-suara yang merasa lebih berkuasa daripada aturan itu sendiri.

Dalam hitungan beberapa jam, keputusan yang sebelumnya sudah bulat berubah menjadi rapuh. Berkas yang sebelumnya sah, tiba-tiba dinyatakan tidak sah. KPU seolah kehilangan pegangan, bukan karena kurangnya aturan, tetapi karena keberanian mereka runtuh di hadapan tekanan. Sebuah lembaga yang seharusnya berdiri tegak justru ikut berbelok mengikuti arah tiupan angin kepentingan.

Inilah persoalan seriusnya yakni ketika keputusan organisasi mahasiswa dapat diubah hanya karena intervensi, maka demokrasi kampus tidak lagi berjalan sehat dan cacat sejak awal. Suara mahasiswa tidak lagi bertenaga, karena prosesnya sendiri tidak lagi berjalan dengan jujur. Pemilihan berubah menjadi ritual formalitas yang dipoles rapi, tetapi kosong akan nilai.

Kita patut bertanya, apakah demokrasi masih hidup ketika yang menang bukanlah yang memenuhi syarat, tetapi yang punya kedekatan dengan pihak tertentu? Apakah KPU masih layak dipercaya ketika satu-satunya hal yang konsisten dari mereka hanyalah inkonsistensi?

Ketika integritas dikorbankan demi kepentingan sesaat, yang runtuh bukan hanya kepercayaan, tetapi juga martabat sebuah lembaga. Dan jika kondisi seperti ini dibiarkan, maka generasi kampus akan terbiasa pada pola pikir berbahaya dimana aturan bisa dibengkokkan, keputusan bisa dinegosiasi, dan kekuasaan lebih penting daripada keadilan.

Pemilihan seharusnya menjadi ruang belajar berdemokrasi, bukan latihan manipulasi. Hal ini karena kampus sebagai tempat membangun masa depan, bukan tempat membiasakan masa depan yang cacat.

Loading

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *