
Berbicara mengenai Islam Wasathiyyah, akhir-akhir ini menjadi suatu topik yang menarik untuk dibahas lebih jauh lagi. Pasalnya, kehidupan keagamaan saat ini menghadapi perubahan dan tantangan yang cukup besar, termasuk dalam hal pengadopsian ajaran-ajaran agama yang terkadang mengalami perbedaan sudut pandang. Sehingga setiap orang lebih memilih berpegang teguh kepada apa yang dianggapnya benar.
Menurut buku “Islam Wasathiyyah” karya Mohamad Iwan Fitriani dan Nazar Naamy, al-Qardawy dalam kitabnya al-Khashaish fil Islam mengungkapkan bahwa Wasathiyyah berarti keseimbangan (attawazunu), yakni posisi di tengah-tengah dan adil antara dua hal yang berhadap-hadapan atau dua hal yang bertentangan. Dua contoh yang berhadap-hadapan atau bertentangan ini bisa berupa individu dan kolektif, fakta dan perumpamaan, tetap dan berubah dan semacamnya.
Selain al-Qardawy yang vokal dalam mendefinisikan konsep Wasathiyyah, terdapat juga salah satu tokoh yang cukup kontributif dalam kajian Islam Wasatiyyah yakni Mohamad Hasyim Kamali. Ia mengatakan bahwa moderasi, atau Wasathiyyah sangat selaras dengan keadilan, dan itu berarti memilih posisi tengah antara ekstremitas. Moderasi sering digunakan secara bergantian dengan rata-rata, inti, standar, jantung, dan tidak berpihak. Kebalikan dari Wasatiyyah ini adalah tatharruf, yang menunjukkan kecenderungan ke arah pinggiran dan dikenal sebagai ekstremisme, radikalisme ataupun berlebihan.
Hal ini berarti, Wasathiyyah pada intinya dikaitkan dengan kata moderat yang berarti di tengah-tengah. Selain itu, hal ini juga senada yang disampaikan oleh Quraish Shihab yang mengemukakan bahwa kata Wasathan diartikan dengan pertengahan, moderat dan teladan, hal ini juga sesuai dengan posisi Ka’bah yang berada di pertengahan. Sehingga dari pandangan Quraish Shihab ini, tampak bahwa konsep Wasathiyyah adalah sebuah pandangan atau sikap dalam memahami suatu kondisi dan bersikap karnanya. “Berani itu baik, dia di tengah antara sifat penakut dan ceroboh, kedermawanan itu baik, dia berada di tengah antara kekikiran dan keborosan.” Begitulah pandangan yang disampaikan oleh Quraish Shihab.
Menanggapi fenomena terbenturnya perbedaan sudut pandang ini, kita sebagai hamba Allah SWT harus bersikap bijaksana dan tentunya harus bisa dalam memahami kondisi, baik itu kondisi pribadi ataupun seringkali adanya kondisi masyarakat yang kini kian beragam. Memang perbedaan sudut pandang ini merupakan suatu hal manusiawi atau dibolehkan, tetapi asalkan tetap berpegang teguh terhadap prinsip-prinsip dasar Wasathiyyah yakni percaya kepada Tuhan yang maha esa, percaya Nabi Muhammad adalah nabi, Al-Qur’an sebagai kitab suci, hingga percaya akan adanya hari akhir. Ini merupakan prinsip dasar Wasathiyyah yang bagaimanapun harus tetap sama di antara semua umat muslim.
Maka dari pernyataan tersebut, perbedaan adalah suatu hal yang bersifat manusiawi. Mengutip pandangan dari UNESCO 1995, mengatakan bahwa toleransi adalah respek, keberterimaan serta apresiasi terhadap kekayaan yang berwujud keberagaman. Toleransi juga merupakan salah satu cara untuk menjadi manusiawi. Selain itu toleransi juga mampu merubah atau mengganti budaya perang menjadi budaya kedamaian.
Dalam hal ini hubungan toleransi dengan Wasathiyyah (pemahaman moderat) yakni dengan adanya pemahaman yang moderat tersebut maka akan melahirkan sikap toleransi. Sikap Wasathiyyah bukan hanya sekedar pertengahan tetapi juga pandai dalam mengkondisikan keadaan dan memahami agama dengan penuh cinta. Sehingga dalam menghadapi kondisi tersebut memerlukan pengetahuan yang mendasarinya yakni harus mengetahui kebutuhan dan kondisi yang terjadi dan mengambil titik tengah dari fenomena tersebut. Dengan menerapkan cara tersebut, maka seseorang akan dianggap sebagai pelaku dalam menempuh jalan moderat.
Islam Wasathiyyah merupakan ajaran Islam yang mengajarkan kedamaian dan saling menghargai di tengah perbedaan. Sebagai seseorang yang memiliki sikap Wasathiyyah tentunya terbuka untuk mengoreksi pendapat, sedangkan orang yang intoleransi atau tidak menganut sikap Wasathiyyah, mereka lebih cenderung untuk tidak mengubah pendapatnya, bahkan bersikap menyalahkan yang lain sekalipun terdapat jalan lain untuk menyelesaikannya. Dengan pentingnya toleransi dan sikap saling menghargai ini pada akhirnya menunjukkan Islam merupakan agama yang Rahmatallil’alamin.
Hal ini ternyata sudah terdapat panduannya di dalam Al-Qur’an tepatnya pada Q.S An-Nahl ayat 125 yang berbunyi:
اُدۡعُ اِلٰى سَبِيۡلِ رَبِّكَ بِالۡحِكۡمَةِ وَالۡمَوۡعِظَةِ الۡحَسَنَةِ وَجَادِلۡهُمۡ بِالَّتِىۡ هِىَ اَحۡسَنُؕ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعۡلَمُ بِمَنۡ ضَلَّ عَنۡ سَبِيۡلِهٖ وَهُوَ اَعۡلَمُبِالۡمُهۡتَدِيۡنَ
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.
Dari ayat tersebut, kita sebagai seorang muslim sudah diwajibkan untuk mengajak orang lain ke jalan Allah SWT dengan cara yang baik, yaitu hikmah atau kebijaksanaan, pengajaran yang baik serta berdebat dengan cara yang baik pula. Di dalam ayat ini menjelaskan bahwasanya berdebat dengan cara yang baik tanpa memandang perbedaan merupakan ajaran Islam yang akan membawa pada kedamaian.