Wudhu adalah salah satu syarat sahnya shalat bagi seorang muslim. Wudhu merupakan ibadah yang mengandung hikmah dan manfaat, baik secara spiritual maupun kesehatan. Namun, terdapat beberapa hal yang dapat membatalkan wudhu, seperti buang air kecil, buang air besar, keluar darah, dan lain-lain. Salah satu permasalahan yang menarik untuk diteliti adalah apakah wudhu menjadi batal ketika memakan makanan/masakan yang dimasak dengan api.
Permasalahan ini berkaitan dengan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW yang tampak saling bertentangan. Sebagian hadis menyatakan bahwa wudhu menjadi batal ketika memakan masakan yang dimasak dengan api, karena api dianggap sebagai salah satu sifat jin yang dapat mengotori mulut. Sebagian hadis lainnya menyatakan bahwa wudhu tidak batal ketika memakan masakan yang dimasak dengan api, karena tidak ada perbedaan antara makanan yang dimasak dengan api atau tidak.
Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan hadis-hadis tersebut. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadis-hadis yang memerintahkan berwudhu setelah memakan masakan yang dimasak dengan api telah dinasakh (dihapus hukumnya) oleh hadis-hadis yang menjelaskan tidak perlunya berwudhu setelah memakan masakan yang dimasak dengan api. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa hadis-hadis tersebut tidak saling menasakh, tetapi saling melengkapi. Mereka mengatakan bahwa wudhu setelah memakan masakan yang dimasak dengan api adalah sunnah (disunnahkan), bukan wajib (diwajibkan).
Permasalahan ini penting untuk diteliti karena berkaitan dengan pemahaman hadis yang merupakan sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an. Hadis merupakan petunjuk dan penjelas bagi umat Islam dalam menjalankan syariat Allah SWT. Oleh karena itu, memahami hadis dengan benar adalah buah dari ilmu hadis, yang dapat menjaga kemurnian dan kesempurnaan ajaran Islam.
Permasalahan ini menunjukkan adanya dinamika dan perkembangan dalam pemikiran Islam. Nasikh dan mansukh adalah salah satu konsep yang digunakan oleh para ulama untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul akibat perbedaan konteks dan kebutuhan umat Islam di berbagai zaman dan tempat. Nasikh dan mansukh menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang fleksibel dan relevan dengan segala zaman dan tempat. Permasalahan ini dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu dan kepentingan kemanusiaan.
Hadis tentang Wudhu Setelah Menyentuh Api
و حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ شُعَيْبِ بْنِ اللَّيْثِ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ جَدِّي حَدَّثَنِي عُقَيْلُ بْنُ خَالِدٍ قَالَ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ أَخْبَرَنِي عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ أَنَّ خَارِجَةَ بْنَ زَيْدٍ الْأَنْصَارِيَّ أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَاهُ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْوُضُوءُ مِمَّا مَسَّتْ النَّارُ
Dan telah menceritakan kepada kami Abdul Malik bin Syu’aib bin al-Laits dia berkata, telah menceritakan kepada kami bapakku dari kakekku, telah menceritakan kepada kami Uqail bin Khalid dia berkata, telah berkata Ibnu Syihab, telah mengabarkan kepadaku Abdul Malik bin Abi Bakar bin Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam bahwa Kharijah bin Zaid al-Anshari, telah mengabarkan kepadanya bahwa bapaknya, Zaid bin Tsabit dia berkata, Aku mendengar Rasulullah bersabda, “Wudu (dilakukan) karena (memakan) sesuatu yang dibakar api.”
Kualitas dan Pemahaman Hadis
Kualitas Hadis
Hadis yang saya kutip didalam kitab al-Hazimi adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya, nomor 528, kitab haid, bab wudhu karena sesuatu yang tersentuh api. Dengan memperhatikan keseluruhan sanad dan matan, hadis ini dapat dianggap sebagai hadis yang shahih (autentik) karena sanadnya yang diterima dan perawinya yang tepercaya.
Pemahaman
Hadis tersebut menunjukkan bahwa pada awal Islam, Rasulullah SAW. Memerintahkan para sahabat untuk berwudhu setelah makan sesuatu yang dimasak dengan api, seperti daging, susu, atau roti. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa api dapat mengubah sifat makanan dan membuatnya menjadi najis, sehingga membatalkan wudhu.
Namun, hadis ini kemudian dinasakh (dihapus hukumnya) oleh hadis lain yang menyatakan bahwa tidak perlu berwudhu setelah makan makanan yang dimasak dengan api.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: «كَانَ آخِرُ الْأَمْرَيْنِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَرْكُ الْوُضُوءِ مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ». صحيح ابن حبان – مخرجا (3/ 416)
Hadis ini diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah, yang berkata bahwa perkara terakhir dari dua hal yang dilakukan Rasulullah SAW. Adalah meninggalkan wudhu karena makanan yang dimasak dengan api. Hadis ini juga didukung oleh banyak riwayat lain dari para sahabat, seperti Abu Bakar, Umar, Ali, Aisyah, Ummu Salamah, dan lain-lain.
Dengan demikian, hukum yang berlaku sekarang adalah tidak perlu berwudhu setelah makan makanan yang dimasak dengan api, kecuali jika makanan tersebut adalah daging unta, yang menurut sebagian ulama membatalkan wudhu berdasarkan hadis lain. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, dan generasi setelahnya, seperti Sufyan, Ibnu Mubarak, Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq.
Adapun ayat Al-Quran yang berkaitan dengan wudhu adalah surat Al- Maidah ayat 6, yang berbunyi:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُۗ مَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
Ayat ini menjelaskan rukun-rukun wudhu, yaitu mencuci muka, tangan, dan kaki, serta menyapu kepala. Ayat ini juga menjelaskan syarat- syarat wajib wudhu, yaitu hadas kecil (seperti buang air, kentut, dll), hadas besar (seperti junub, haid, nifas, dll), dan tidak adanya air. Ayat ini juga menjelaskan hikmah wudhu, yaitu untuk membersihkan diri secara fisik dan spiritual, serta untuk mensyukuri nikmat Allah.
Syarah dari hadis tersebut adalah bahwa hukum berwudhu setelah memakan sesuatu yang dibakar api adalah hukum yang berlaku pada awal Islam, ketika Nabi SAW masih berada di Makkah. Tujuannya adalah untuk membedakan umat Islam dengan orang-orang musyrik yang tidak berwudhu sebelum shalat. Namun, setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah, hukum ini dihapus oleh Allah SWT, karena umat Islam sudah memiliki ciri khas lain yang membedakan mereka dengan orang-orang musyrik, yaitu azan dan iqamah. Oleh karena itu, tidak ada lagi kewajiban untuk berwudhu setelah memakan sesuatu yang dibakar api, kecuali jika ada najis yang tercampur dengan makanan tersebut.
Pendapat ulama tentang hadis ini adalah mayoritas ulama sepakat bahwa hadis ini sudah dimansukh, dan tidak ada lagi kewajiban untuk berwudhu setelah memakan sesuatu yang dibakar api. Ini adalah pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan sebagian besar ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Hanya sebagian kecil ulama yang berpendapat bahwa hadis ini masih berlaku, dan wajib berwudhu setelah memakan sesuatu yang dibakar api. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Dawud al-Zahiri, dan sebagian ulama Hanafi dan Zahiri. Mereka berdalil dengan hadis menyatakan bahwa Nabi SAW berwudhu setelah memakan susu yang dikeraskan dengan api, dan hadis yang menyatakan bahwa Nabi SAW memerintahkan seorang laki-laki yang memakan daging unta untuk berwudhu. Namun, pendapat ini lemah, karena hadis-hadis yang mereka gunakan sebagai dalil juga ada yang dimansukh, atau memiliki makna yang berbeda dengan yang mereka pahami.
Hadis tersebut menunjukkan keutamaan Nabi SAW dalam menjaga kesucian dan kebersihan, dan kepatuhan umat Islam dalam mengikuti perintah dan larangan Nabi SAW. Hadis tersebut juga menunjukkan kebijaksanaan Allah SWT dalam memberikan syariat yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan umat Islam di setiap zaman dan tempat. Hadis tersebut juga menunjukkan pentingnya memahami konteks dan sebab turunnya hadis, serta mengetahui mana hadis yang masih berlaku dan mana yang sudah dimansukh, agar tidak terjadi kesalahpahaman dan kesalahan dalam beribadah.
Analisis Nasikh Mansukh Hadis tentang Wudhu Setelah Menyentuh Api
Hadis yang dikutip adalah salah satu hadis yang menjadi sumber perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hukum wudhu setelah menyentuh api. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan sanad yang shahih. Namun, ada beberapa hadis lain yang menunjukkan bahwa wudhu tidak wajib setelah menyentuh api, seperti hadis dari Aisyah, Anas, dan Jabir yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan lainnya.
Para ulama berbeda pendapat tentang mana hadis yang nasikh (menghapus) dan mana yang mansukh (terhapus). Ada beberapa pendapat yang mungkin, antara lain:
- Pendapat pertama: Hadis yang memerintahkan wudhu setelah menyentuh api adalah nasikh, sedangkan hadis yang tidak memerintahkan wudhu adalah mansukh. Ini adalah pendapat Imam Malik, Ahmad, dan sebagian ulama Hanafi. Mereka berdalil dengan hadis dari Zaid bin Tsabit yang Anda kutip, dan hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang menyatakan bahwa Nabi SAW bersabda, ”Barangsiapa yang menyentuh api, hendaklah ia berwudhu.” Mereka juga berpendapat bahwa hadis yang tidak memerintahkan wudhu adalah hadis yang lemah atau batal, karena bertentangan dengan hadis yang sahih dan jelas.
- Pendapat kedua: Hadis yang tidak memerintahkan wudhu setelah menyentuh api adalah nasikh, sedangkan hadis yang memerintahkan wudhu adalah mansukh. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i, Abu Hanifah, dan sebagian ulama Hanafi. Mereka berdalil dengan hadis dari Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, yang menyatakan bahwa Nabi SAW tidak berwudhu setelah makan daging yang dibakar api. Mereka juga berdalil dengan hadis dari Anas dan Jabir yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, yang menyatakan bahwa Nabi SAW tidak berwudhu setelah makan kurma yang dibakar api. Mereka juga berpendapat bahwa hadis yang memerintahkan wudhu adalah hadis yang khusus atau terbatas, karena hanya berlaku untuk makanan yang berbau atau berdampak pada mulut, seperti bawang, bawang putih, atau daging unta.
Cara Penyelesaian Mukhtalif Hadis
Mukhtalif hadis merujuk pada hadis-hadis yang tampak bertentangan satu sama lain, sehingga memerlukan metode khusus untuk menyelesaikan kontradiksi tersebut. Dalam konteks wudhu setelah menyentuh api, terdapat dua kelompok hadis yang bertentangan: satu kelompok mewajibkan wudhu setelah mengonsumsi makanan yang dimasak dengan api, sementara kelompok lainnya menyatakan tidak ada kewajiban wudhu. Untuk menyelesaikan mukhtalif hadis ini, beberapa langkah berikut diterapkan.
Langkah pertama adalah jam‘u wa at-taufiq, yaitu upaya mengompromikan kedua hadis dengan cara mencari makna yang memungkinkan keduanya diterapkan tanpa saling meniadakan. Dalam kasus ini, beberapa ulama menyatakan bahwa hadis yang mewajibkan wudhu berlaku untuk situasi tertentu, seperti makanan yang mengandung najis, sedangkan hadis yang tidak mewajibkan wudhu berlaku dalam kondisi normal. Pendekatan ini menekankan bahwa kedua hadis tersebut saling melengkapi.
Langkah kedua adalah nasikh wa mansukh, yaitu menentukan hadis mana yang lebih awal turun dan mana yang lebih akhir. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa hadis yang mewajibkan wudhu merupakan hukum awal yang kemudian dimansukh oleh hadis yang menyatakan tidak perlu berwudhu setelah menyentuh api. Pendekatan ini didukung oleh riwayat-riwayat yang menunjukkan perubahan praktik Rasulullah SAW terkait masalah ini seiring waktu.
Langkah ketiga adalah tarjih, yaitu memilih salah satu hadis berdasarkan kekuatan sanad, matan, atau relevansi hukum dengan kondisi umat. Mayoritas ulama cenderung mentarjih hadis yang menyatakan tidak ada kewajiban wudhu setelah menyentuh api, karena hadis ini didukung oleh lebih banyak riwayat shahih dan sesuai dengan prinsip kemudahan dalam syariat Islam.
Langkah terakhir adalah memahami konteks hadis dan tujuan syariat. Dalam hal ini, hukum wudhu setelah menyentuh api pada awalnya bertujuan untuk menjaga kebersihan mulut dan tubuh umat Islam agar berbeda dari kebiasaan kaum musyrik. Namun, ketika umat Islam telah memiliki ciri khas ibadah seperti azan dan iqamah, hukum ini tidak lagi relevan dan digantikan oleh syariat yang lebih umum.
Penerapan metode-metode ini menunjukkan pentingnya memahami mukhtalif hadis dengan pendekatan ilmiah yang mendalam, sehingga menghasilkan kesimpulan hukum yang tidak hanya sesuai dengan teks hadis, tetapi juga relevan dengan tujuan syariat Islam secara keseluruhan.
Penulis: Irsyad Rahmansyah (Mahasiswa Program Studi Ilmu Hadis UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi)
Editor: Khairini