Melamar atau meminang merupakan langkah awal dalam membangun rumah tangga. Namun, ada pertanyaan yang sering muncul, bolehkah meminang wanita yang sudah dipinang orang lain? Hal ini penting untuk dibahas karena berkaitan dengan nilai-nilai agama dan etika dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam pembahasan ini, akan dijelaskan hukum dan aturan terkait meminang wanita yang telah dipinang menurut perspektif hadits.
Hadits tentang Larangan Meminang Wanita yang Telah Di Pinang
و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى جَمِيعًا عَنْ يَحْيَى الْقَطَّانِ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ أَخْبَرَنِي نَافِعٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَبِعْ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلَا يَخْطُبْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ إِلَّا أَنْ يَأْذَنَ لَهُ
“Tidak boleh salah seorang dari kamu membeli sesuatu yang telah dibeli oleh saudaranya dan juga tidak boleh melamar (meminang) yang telah dilamar oleh saudaranya, kecuali ada izin darinya”.(HR. Muslim)
Hadits tentang Kebolehan Meminang Wanita yang Telah Di Pinang
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ مَوْلَى الْأَسْوَدِ بْنِ سُفْيَانَ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قيْسٍ أَنَّ أَبَا عَمْرِو بْنَ حَفْصٍ طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ وَهُوَ غَائِبٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا وَكِيلُهُ بِشَعِيرٍ فَسَخِطَتْهُ فَقَالَ وَاللَّهِ مَا لَكِ عَلَيْنَا مِنْ شَيْءٍ فَجَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نفَقَةٌ فَأَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ أُمِّ شَرِيكٍ ثُمَّ قَالَ تِلْكِ امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِي اعْتَدِّي عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ فَإِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي قَالَتْ فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ انْكِحِي أَسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ انْكِحِي أُسَامَةَ فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ
“Bersumber: dari Fatimah binti Qais sesungguhnya Abu Amr bin Hafsh menthalak isterinya secara jelas pada hal ia sedang tidak ada. Oleh wakilnya, wanita itu dikirimi gandum lalu ia masak. Lantas Abu Amr berkata: Demi Allah, kamu tidak berhak atasku sedikitpun”. Wanita tersebut lalu datang kepada Rasulullah SAW seraya menuturkan masalahnya. Rasulullah SAW bersabda: “Memang dia tidak wajib memberimu nafkah”. Beliaupun menyuruh wanita malang itu untuk menjalani masa iddahnya di rumah Ummu Syarik, kemudian beliau bersabda: “Tetapi rumah wanita itu sering lalu lalang sahabatku. Maka jalani saja masa `iddahmu di rumah Abdullah bin Ummi Maktum, karena sesungguhnya dia adalah seorang laki-laki buta yang tidak mungkin bisa melihat auratmu. Apabila kamu sudah halal, maka beritahulah aku”. Wanita malang tersebut kemudian bertutur: “Ketika sudah rampung menjalani masa `iddah, aku mengatakan kepada Rasulullah SAW bahwa sesungguhnya Mu’awiyah bin Abu Sufyan dan Abu Jahm bin Hisyam telah mengajukan lamaran kepadaku. Tetapi Rasulullah SAW bersabda: Adapun Abu Jahm itu adalah orang yang selalu berpergian atau suka memukul isteri, sedangkan Mu’awiyah itu orang yang miskin tidak memiliki harta sama sekali. Nikahlah saja dengan Usamah bin Zaid. Semula aku menolaknya, karena aku tidak suka kepadanya. Tetapi Rasulullah SAW menganjurkan kepadaku untuk menikah dengan Usamah bin Zaid. Akhirnya aku jadi menikah dengannya. Rupanya Allah SWT berkenan memberikan kebajikan dalam pernikahan tersebut dan aku merasa suka kepadanya.” (HR. Muslim)”
Dalam hadis pertama Rasulullah melarang meminang seseorang yang telah dipinang oleh orang lain. Namun dalam hadis kedua justru Rasulullah sendiri yang meminang Fatimah Bint Qais untuk Usamah Ibn Zaid, yang sebelumnya telah dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm. Mengapa hal ini terjadi, apakah Rasulullah tidak konsisten dengan pernyataannya? Tentu pertanyaan seperti ini yang akan muncul ketika tidak dilihat konteks kedua hadis tersebut.
Asbabul Wurud (Latar Belakang)
Adapun yang menjadi latar belakang dituturkannya hadis pertama ialah, Rasulullah ditanya tentang seseorang yang meminang perempuan dan pinangannya diterima untuk selanjutanya diteruskan ke jenjang perkawinan. Akan tetapi datang lagi pinangan dari laki-laki lain yang ternyata lebih menarik hati perempuan tersebut, dibanding laki- laki pertama sehingga ia pun membatalkan pinangan pertama. Inilah yang menjadi konteks hadis pertama.
Sementara hadis kedua, berbeda konteksnya dengan hadis pertama. Pada hadis kedua Fatimah binti Qais datang kepada Nabi seraya memberitahukan bahwa ia telah dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm. Rasulullah tidak menyanggah pernyataan ini sesuai dengan hadis pertama karena Rasulullah tahu bahwa Fatimah sendiri belum menerima kedua pinangan itu, sebab Fatimah datang kepada Rasulullah untuk meminta pertimbangan. Lalu Rasulullah memberikan solusi dengan meminangkannya untuk Usamah bin Zaid.
Metode Penyelesaian
Berdasarkan metode al-jam`u, Imam al-Syafi’i berpendapat bahwa hadis pertama tidaklah bertentangan dengan hadis kedua karena hadis pertama berlaku pada kondisi dan situasi tertentu, tidak berlaku pada situasi dan kondisi lainnya. Adapun yang menjadi latar belakang dituturkannya hadis pertama sebagaimana telah dijelaskan di atas ialah, Rasulullah ditanya tentang seseorang yang meminang perempuan dan pinangannya diterima untuk selanjutanya diteruskan kejenjang perkawinan. Akan tetapi datang lagi pinangan dari laki-laki lain yang ternyata lebih menarik hati perempuan tersebut, dibanding laki-laki pertama sehingga ia pun membatalkan pinangan pertama. Inilah yang menjadi konteks hadis pertama.
Sementara hadis kedua, berbeda konteksnya dengan hadits pertama. Pada hadits kedua Fatimah binti Qais datang kepada Nabi seraya memberitahukan bahwa ia telah dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm. Rasulullah tidak menyanggah pernyataan ini sesuai dengan hadis pertama karena Rasulullah tahu bahwa Fatimah sendiri tidak suka dan belum menerima kedua pinangan itu, sebab Fatimah datang kepada Rasulullah untuk meminta pertimbangan. Lalu Rasulullah memberikan solusi dengan miminangkannya untuk Usamah.
Dengan demikian, kedua hadis yang menerangkan tentang al-khitbah, baik dari riwayat Ibn Umar maupun pada hadis melalui jalur riwayat Fathimah binti Qais, hadis tersebut adalah hadis yang shahih. Hadis pertama berbeda dengan konteks hadis kedua, hadis pertama konteksnya dimana seorang perempuan dengan persetujuan walinya telah menerima pinangan dari seorang laki-laki, maka ia tidak boleh lagi menerima pinangan lelaki lainnya, kecuali telah dizinkan oleh lelaki yang telah melamarnya. Jika tidak mendapatkan izin dari lelaki yang melamarnya, perempuan tersebut menikah dengan lelaki lain, maka perbuatan laki-laki yang meminang pinangan orang lain tersebut hukumnya haram. Para ulama sepakat jika hal itu terjadi maka pernikahan tersebut tetap sah.
Sementara hadis kedua kondisi dimana Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm baru sebatas mengajukan proposal pinangan, belum ada kepastian diterima atau ditolak, sebab Rasulullah mengetahui bahwa Fathimah binti Qais datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta pendapatnya. Maka Rasulullah menjelaskan tentang perangai Abu Jahm yang selalu kasar dan selalu memukul, juga Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang kondisi kehidupannya sangat memprihatinkan karena miskin. Saat itulah Rasulullah menawarkan Usamah untuk menjadi suami Fathimah binti Qais. Berdasarkan hadis di atas maka seorang perempuan boleh menolak pinangan tersebut dan menerima pinangan laki-laki yang disukainya tanpa seizin dari lelaki tersebut.
Penulis: Zikri Ramadhan (Mahasiswa Program Studi Ilmu Hadis UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi)
Editor: Khairini