Bacaan makmum dibelakang imam merupakan salah satu isu yang masih diperdebatkan dikalangan ulama. Beberapa ulama memperbolehkan bacaan makmum, sementara yang lain melarangnya. Perbedaan ini dikarenakan adanya perbedaan interpretasi terhadap hadis hadis yang terkait. Adapun hadis yang melarang bacaan makmum.
1. Hadis tidak menerima shalat jika tidak membaca Al- Fatihah
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَ الزُّهْرِيُّ عَنْ مَحْمُدِ بْنِ الرَّبِيعِ عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
Telah menceritakan kepada kami „Ali bin „Adullah berkata, telah menceritakan kepada kami Sufyan berkata, telah menceritakan kepada kami Az-Zuhri dari Mahmud bin Ar-Rabi‟ dari Ubadah bin Ash-Shamit, bahwa Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam bersabda: “Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca Fātiḥatul Kitāb (Al-Fātiḥah).” [HR. Bukhari no. 725]
2. Hadis tentang ketika ada makmum yang membaca ayat bersama Nabi
حدثنا الْقَعْنَيُّ عن مَالِكِ ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ ، عَنْ ابْنِ أَكَيْمَةَ اللَّيْنِيِّ ، عَنْ أبي هُرَيْرَةَ : أَنَّ رَسُولَ الله عليه والله انْصَرَفَ مِنْ صَلَاةٍ جَهَرَ فِيْهَا بِالْقِرَاءَةِ فَقَالَ : هَلْ قَرَأَ مَعِيَ أَحدٌ مِنْكُمْ آئِفًا ؟ فَقَالَ : نَعَمْ يَا رَسُولَ اللَّهُ . قَالَ : إِنِّي أَقُولُ مَالِي أُنَازِعُ الْقُرْآنَ . قَالَ فَانْتَهَى النَّاسُ عَنِ الْقِرَاءَةِ مَعَ فيه| به | النَّبِيُّ عليه وسلم بِالْقِرَاءَةِ مِنَ رَسُولِ الله عليه وسلم فِيمَا جَهَرَ : الصَّلَوَاتِ حِينَ سَمِعُوا ذَلِكَ مِنْ رَسُولِ الله
Telah menceritakan kepada kami Al-Qa‟nabi dari Malik dari Ibnu Syihab dari Ibnu Ukaimah Al-Laitsi dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah selesai dari shalat yang dibaca jahr (nyaring), lalu beliau bersabda, “Apakah ada seseorang yang membaca (ayat) bersamaku tadi?” seorang laki-laki berkata, “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Sungguh, aku berkata (dalam hati) kenapa ia membaca bersamaku dan mendahuluiku dalam membaca Al-Qur’an?.” Az-Zuhri berkata, “Seketika itu orangorang yang membaca bersama Nabi dalam shalat-shalat yang dibaca nyaring pun berhenti, setelah mendengar hal itu dari Rasulullah.” [HR. Abu Dāud no. 826]
Pendapat ulama terkait dua hadis di atas sebagai berikut:
Para ulama kalangan mazhab Syafi‟i berpendapat bahwa kewajiban membaca surah Al-Fatiḥah bagi makmum itu mutlak, baik dalam shalat jamaah yang dilakukan secara sirriyyah maupun shalat jamaah yang dilakukan secara jahriyyah. Menurut imam Nawawi, pendapat ini merupakan pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi‟i. Ketentuan tersebut ditetapkan karena berdasarkan keumuman hadis Nabi SAW yang mengatakan bahwa tidak ada (tidak sah) shalat bagi orang yang tidak membaca Al-Fatiḥah.
Ulama mazhab Hanafi merupakan kalangan ulama yang mengatakan wajib membaca Al-Fatiḥah dalam shalat. Akan tetapi membaca surah Al-Fatiḥah tidak dijadikan sebagai syarat sahnya shalat, karena wajib membaca Al-Fatiḥah dalam shalat itu sekedar ditetapkan berdasarkan sunnahnya Nabi (hadis). Adapun untuk perkara yang dapat menjadikan shalatnya seseorang tidak sah kecuali dengan adanya perkara itu, maka perkara tersebut dinamakan dengan fardhu. Menurut ulama mazhab Hanafi, yang dikatakan dengan fardhu itu tidak dapat ditetapkan kecuali berdasarkan Al-Qur’an. Mengenai hal ini, ulama mazhab Hanafi menyebutkan firman Allah SWT yang terdapat dalam Al-Qur’an surah Al-Muzammil ayat 25 sebagai dalilnya, yaitu: “Bacalah oleh kalian apa yang mudah dari Al-Qur’an.” (Qs. Al-Muzzammil (73): 25).
Sedangkan para ulama kalangan mazhab Hambali berpendapat bahwa hukum membaca surah Al-Fatiḥah bagi makmum ada dua, yaitu wajib membaca apabila shalat yang dilakukan secara sirriyyah dan tidak diwajibkan untuk membacanya apabila shalat dilakukan secara jahriyyah. Hadis yang dijadikan sebagai landasan hukum pendapat tersebut adalah [HR. Abu Daud no. 826].
Adapun mereka yang tidak mewajibkan makmum untuk membaca Al-Fatiḥah secara mutlak, seperti mazhab Hanafi, berdalil dengan hadis
( من صلى خلف الإمام له قراءة
Barangsiapa yang shalat di belakang imam maka bacaan imam adalah bacaan baginya.
Namun menurut ahli hadis, hadis ini bersifat dha’if (lemah). Jalur-jalur periwayatannya serta cacat-cacatnya telah dijelaskan oleh Ad-Daruquthni dan selainnya. Sementara ulama yang tidak mewajibkan bacaan Al-Fatiḥah bagi makmum di saat imam membaca dengan suara keras seperti mazhab Maliki berdalil dengan hadis,
(Dan apabila ia (imam) membaca hendaklah kalian diam).
Hadis ini shahih yang diriwayatkan oleh imam Muslim dari Abu Musa Al-Asy’ari. Akan tetapi dalam hadis itu tidak ada indikasi yang mendukung pendapat tadi, karena mungkin dua hal itu dipadukan yaitu diam (tidak membaca) selain Al-Fatiḥah atau diam saat imam membaca, lalu membaca Al-Fatiḥah saat imam diam. Berdasarkan hal ini maka imam harus diam pada shalat jahriyyah agar makmum dapat membaca Al-Fatiḥah dan agar imam tidak menyebabkan makmum melakukan suatu larangan, yaitu tidak diam saat imam membaca
Dengan demikian, menurut mazhab Syafi‟i, membaca Al-Fatiḥah wajib bagi makmum, baik dalam shalat sirriyyah maupun jahriyyah. Pendapat ini didasarkan pada keumuman hadis yang menyebutkan bahwa tidak sah shalat tanpa membaca Al-Fatiḥah. Mazhab Hambali berpendapat bahwa makmum wajib membaca Al-Fatiḥah dalam shalat sirriyyah, namun tidak wajib dalam shalat jahriyyah. Pendapat ini didasarkan pada hadis yang menunjukkan larangan membaca bersama imam saat bacaan imam terdengar. Mazhab Hanafi tidak mewajibkan makmum membaca Al-Fatiḥah karena bacaan imam mencukupi untuk makmum.
Penulis: Muhammad Akbar (Mahasiswa Program Studi Ilmu Hadis UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi)
Editor: Khairini