
Seiring berkembangnya zaman dan peradaban yang semakin maju, baik dari segi ilmu pengetahuan maupun teknologi, perkembangannya bisa kita lihat bagaimana keadaan umat muslim tertinggal, baik dari aspek ilmu pengetahuan berupa filsafat, ekonomi, politik, sains maupun sosial sekalipun. Beberapa opini mengatakan kemunduran kaum muslim ini disebabkan sikap zuhud atau terlalu mencintai dunia. Sehingga nilai-nilai yang diajarkan oleh Rasulullah SAW perlahan akan memudar bahkan hilang.
Ada apa dengan umat Muslim?
Apakah benar umat Muslim sekarang sudah terlena dengan duniawi? Apakah kita tidak ingat dengan firman Allah SWT dalam Q.S Al-Hadid ayat 20 bahwasanya dunia hanya sementara dan akhirat selamanya. Sesuai Q.S Al- A’la ayat 16-17. Di dalam hadist Nabi pun tertulis, dunia adalah neraka bagi orang-orang beriman dan surga bagi orang-orang yang tidak beriman.
Di samping itu, kita lihat sejarah umat muslim pada abad pertengahan (abad 5-15). Kala itu umat Muslim memimpin dunia pengetahuan dan peradaban yang hampir di segala bidang ilmu. Hal ini justru berbanding terbalik dengan peradaban Barat, yang kala itu dunia Eropa berada pada masa kegelapan. Tetapi bagaimana orang-orang Eropa bisa maju kembali? Yakni dengan belajar kepada musuh yaitu kaum muslim itu sendiri. Mereka berlomba-lomba belajar dan bahkan meniru metode-metode belajar kaum muslim.
Tetapi, sekarang di abad 21 umat Muslim sedang mengalami kemunduran dan berada di masa kegelapan. Mungkin peradaban kita dicuri oleh Barat? Kalau pun dicuri, lantas kenapa? Apakah ada hukumnya bahwasanya ilmu itu hanya milik barat dan timur, tidak ada. Ilmu itu tidak terikat akan sesuatu. Ilmu itu bebas. Boleh semua orang mengetahui dan mempelajarinya tanpa terkecuali.
Sekarang mari kita spesifikkan lagi mengenai kedaan dan kondisi umat Muslim. Tulisan ini untuk mengkritikisi Institut sampai Univesitas yang bercover dan berlandasan Islami.
Di balik bangunan yang tinggi dan megah tersimpan realitas yang menyedihkan dan mengejutkan kita, yakni matinya dialektika di ruangan perkuliahan. Dimana seharusnya di ruang-ruang itu, tempat para mahasiswa menimba ilmu pengetahuan, para kaum intelektual lahir, dari ruang akademisi itu sampai membuat kemajuan sebuah peradaban. Bukan seperti sekarang yang hanya mencetak para-para pekerja, tanpa dilandaskan dengan akal pikiran yang rasional dan kritis, tanpa meninggalkan nilai-nilai Islam.
Di dalam ruangan itu komunikasi seringkali terjadi satu arah. Apa yang disampaikan dosen dan diterima mahasiswa tanpa ada hidupnya sebuah dialog untuk mengkritisi teori dan argumen satu sama lain.
Dulu dalam tradisi Islam klasik, justru dapat kita lihat nilai-nilai egaliter yang menginspirasi. Metode dan sistem belajarnya yaitu Halaqah dan Liqo’ yaitu membentuk lingkaran bulat yang menempatkan murid bukan sebagai objek pasif, melaikan subjek aktif yang bebas menyampaikan pendapat, dan mengkritisi bahkan mengembangkan pemikiran dari gurunya.
Sekarang pun sebagian mahasiswa lebih banyak mementingkan sebuah nilai, yang kelak hanya terpajang di sehelai lembar kertas. Dari pada esensi sebuah ilmu tersebut. Hal ini disebabkan karena mahasiswa tidak begitu peduli dengan ilmu dan ilmuwannya dan terkadang dosennya lebih mengedepankan batasan-batasan yang tak kasat mata. Jadi mahasiswa lebih memilih menjalankan aktivitas atau “manut”.
Ada kalanya kita bersikap manut yaitu ketika actuating. Tetapi dalam ruangan diskusi haram untuk menerapkan prinsip sami’na wa atho’na tersebut. Tidak menutup kemungkinan mahasiswa memiliki pemikiran kritis dan gagasan yang luas, tapi terkadang juga takut dianggap lancang dan tidak sopan. Penghormatan pada guru bukan berarti bisa membungkam sebuah kritik. Tetapi bisa menghasilkan dialektika yang sehat dan sistematis.
Terkhusus untuk mahasiswa yang lebih memilih mementingkan sebuah pencitraan dari pada sebuah esensi. Yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tidak berbobot, yang terkadang dia sendiri tidak mengerti dengan pertanyaannya, hanya demi mendapatkan sebuah nilai plus di mata dosen. Mau sampai kapan seorang mahasiswa bisa bersikap demikian? Ayo kita tumbuhkan kembali lingkungan-lingkungan yang cinta terhadap ilmu pengetahuan.
Dengan salah satu metodenya yaitu berdialektika yakni berdiskusi, berdialog dan mengkritisi satu sama lain dengan tujuan mencari sebuah pembenaran. Dari sinilah para intelektual dilahirkan dan dibentuk dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan pola pikir yang matang.
Tidak bisa kita juga memungkiri sebagian dosen juga ikut serta menghambat para intelektual itu lahir dari bangku perkuliahan. Hal ini dikarenakan kontrak-kontrak kuliah yang dinilai kurang jelas dan metode pembelajaran yang primitif. Terkadang juga dipersempit oleh dogma dan doktrin. Sehingga jarang terjadinnya sebuah pembaharuan dan penemuan di dunia mahasiswa Islam.
Ilmu itu tidak mengenal orang-orang pintar dan orang-orang bodoh tetapi ilmu mengenal orang yang selalu mengusahakannya. Jangan gensi untuk belajar kapada peradaban Barat. Seperti yang pernah dikatakan oleh Tan Malaka “Belajarlah dari Barat, tapi jangan jadi peniru Barat, melainkan jadilah murid dari Timur yang cerdas”.
Jangan kita sendiri ikut membunuh akal pikiran untuk mempelajari semua yang ada di dunia. Jadilah manusia yang bebas dan merdeka dalam berpikir karena, pada hakikatnya ide dan pikiran tidak bisa dibunuh ataupun dipenjarakan. Tidak ada salahnya kita tata ulang kembali kurikulum pelajaran, demi mencapai sebuah kemajuan yang bermanfaat bagi kehidupan kita bersama.
Terakhir, mahasiswa itu adalah manusia penganalisa bukan semata-mata pemburu ijazah, tetapi seharusnya merupakan penghasil gagasan (ide) yang disajikan dalam bentuk pemikir yang teratur, yang banyak sedikitnya sesuai dengan hakikat ilmu pengetahuan. Sesuai dengan hakikat kemahasiswan ialah faktor kekuatan penalaran dan pemikiran individuil yaitu sebagai the curtain of the world of civilization.
Penulis: M. Zidan Pratama Mahasiswa Program Studi Manajemen Haji Umrah