
Raka sudah memegang jabatan ketua kelas sejak awal tahun ajaran. Ia bukan tipe pemimpin yang hanya bicara di depan lalu duduk tenang di belakang. Ia ada di tengah teman-temannya, mendengar, merangkul, dan menjadi tempat pulang bagi mereka yang sedang bermasalah.
Tak terhitung berapa kali Raka menjadi penengah saat dua kelompok di kelas saling bertengkar, atau ketika guru wali kelas meminta bantuan untuk menertibkan jadwal belajar tambahan. Ia menyisihkan waktu istirahatnya, bahkan jam belajarnya sendiri demi membantu yang lain. Tidak ada rasa keberatan, karena baginya, tanggung jawab adalah kehormatan.
Namun, semua orang punya batas.
Pada suatu Senin yang sibuk, datang sebuah masalah besar. Persiapan lomba antar kelas menuntut latihan ekstra, sementara di minggu yang sama, ujian praktik juga akan berlangsung. Kelas menjadi panik. Jadwal bertabrakan, emosi meledak, dan sebagian murid mulai kehilangan arah.
Raka mencoba mencari solusi. Ia mendatangi guru, menyarankan penjadwalan ulang, bahkan mengusulkan skema rotasi latihan. Tapi usulannya ditolak. Waktu terlalu sempit, dan semua guru sepakat bahwa ujian tidak bisa ditunda.
Di saat Raka hampir menyerah, muncullah Tia, sekretaris kelas. Biasanya ia lebih banyak diam, hanya mencatat dan sesekali berbicara jika diminta. Tapi kali ini, ia berdiri dengan penuh percaya diri.
“Aku sudah diskusi dengan beberapa guru dan dapat izin untuk membuat dua shift latihan pagi sebelum pelajaran dan sore setelah jam pulang. Yang penting, tidak mengganggu jam ujian,” katanya dengan mantap.
Semua mata beralih padanya. Beberapa berbisik kagum, bahkan bertepuk tangan. Wajah Raka sedikit kaku, bukan karena iri, tapi karena heran. Ia sendiri tidak tahu kapan Tia melangkah sejauh itu.
Sejak saat itu, perlahan peran Raka mulai terpinggirkan. Tia semakin sering berbicara di depan kelas, memimpin diskusi, dan bahkan menentukan arah keputusan tanpa melibatkan ketuanya. Parahnya, ia mulai meremehkan Raka di depan umum.
“Kalau masih Raka yang urus, bisa-bisa gagal semua ini,” ucapnya suatu hari, disambut tawa beberapa murid.
Raka tak menanggapi. Ia hanya diam, menunduk, dan tersenyum samar. Ia tahu, jika ia membalas, maka ia sama saja menyerah pada emosi. Tapi di dalam dirinya, perlahan luka itu tumbuh. Bukan karena kehilangan kuasa, melainkan karena dikhianati oleh orang yang seharusnya berjalan di sampingnya, bukan di atasnya.
Hingga pada suatu pagi, ketika kelas masih sepi dan hanya terdengar suara angin dari jendela terbuka, Raka berdiri di depan papan tulis. Ia membawa secarik kertas dan membacanya pelan.
“Assalamualaikum.
Teman-teman yang saya hormati, saya mengucapkan terima kasih atas kepercayaan selama ini. Tapi saya merasa, sekarang sudah bukan waktunya lagi saya berada di posisi ini. Saya memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai ketua kelas.”
Beberapa siswa yang baru datang terdiam. Tidak ada suara. Tia, yang berdiri di belakang, tampak menegang.
“Kenapa, Ka? Kamu itu ketua terbaik yang pernah kita punya,” ucap seorang teman, setengah panik.
Raka tersenyum, namun matanya tampak lelah. “Karena menjadi pemimpin bukan tentang siapa yang paling bisa bicara atau siapa yang paling sering dipuji. Tapi tentang siapa yang siap memikul beban. Dan saat ini, saya merasa… mungkin saya tidak lagi dibutuhkan.”
Ia kembali ke bangkunya, mengangkat tasnya, dan berjalan keluar kelas tanpa banyak kata.
Sejak hari itu, suasana kelas berubah. Tia memang mengambil alih jabatan ketua, tapi perlahan, rasa hormat yang dulu diberikan pada Raka tak pernah berpindah padanya. Ia mulai merasa berat mengatur semuanya sendiri. Teman-teman yang dulu tertawa bersamanya, kini mulai menjauh karena merasa kepemimpinannya dingin dan terlalu mendominasi.
Raka? Ia tetap datang ke sekolah, tetap bersikap ramah, dan tak pernah menunjukkan kebencian. Bahkan ketika diminta membantu suatu hal, ia tetap hadir tanpa jabatan, tanpa nama. Hanya seorang Raka, teman sekelas yang selalu siap menolong.
Karena ia tahu, menjadi pemimpin sejati tidak butuh panggung, cukup hati.
Penulis: Jumadil Jefrian