
Hidup sebagai seorang yang pintar merupakan impian semua orang, hanya saja ada sebagian orang yang tidak menghargai suatu kepintaran. Dalam kehidupan bersekolah tidak dapat dihindari kejelasan antara murid yang pintar dan bodoh, terkadang hal tersebut menjadikan rendah seseorang dan meninggikan seseorang yang lain dengan nilai yang diperolehnya, tanpa melihat bagaimana situasi dan perjuangannya.
Adelio merupakan seorang yang terkenal pintar di sekolahnya, sehingga ia terus saja mendapatkan nilai terbaik di kelasnya. Berbeda halnya dengan Bande, seorang anak yang selalu saja mendapatkan nilai yang buruk di kelasnya, bahkan hal itu sudah tersebar di sekolahnya.
Disinilah kisah Bande sangat memukau dimulai, Bande yang selalu berusaha memperhatikan guru di kelas, dan selalu mencoba memahami setiap pelajaran yang diberikan gurunya, tetapi masih saja ia mendapatkan nilai terburuk di kelasnya. Karena ia selalu mendapatkan nilai terburuk di kelasnya, ia harus selalu menanggung segala cacian dan kejahatan temannya. Bahkan beberapa guru merasa bingung dengan diri Bande, para guru paham bahwa Bande merupakan murid yang disiplin dan selalu memperhatikan gurunya menjelaskan, bagaimana bisa anak seperti itu bisa mendapatkan nilai terburuk di kelasnya. Hingga pada akhirnya gurunya tidak lagi peduli terhadap apapun yang dilakukan Bande, mau
dia mengerti ataupun tidak dengan pelajaran yang diberikan, begitulah yang dirasakan seseorang guru yang merasa lelah dengan diri seorang Bande.
Hal tersebut tentu menimbulkan sebuah kesedihan yang mendalam. Pada suatu perjalanan menuju rumahnya ia merenungi bagaimna caranya agar ia mendapatkan nilai yang baik di kelas, bahkan ia sempat berfikir jikalau dirinya memang sudah ditakdirkan untuk menjadi manusia yang bodoh. Sesampainya di rumah Bande mencari ibunya yang kebetulan lagi bekerja di kebun, ia menyampaikan seluruh keluh kesahnya tentang keadaannya di sekolah, hingga ia meminta pada ibunya untuk dimasukkan ke sebuah lembaga belajar eksternal. Bagaimanalah tanggapan seorang ibu yang bekerja di ladang kecil bersama bapaknyal di belakang rumah.
“Maaf nak, bukannya ibu melarangmu buat pintar, tapi kamu taukan bagaimana kondisi kita, bahkan untuk makan sehari-hari aja sulit, apalagi untuk membiayai les kamu nak” jawab seorang ibu yang merasa sedih tidak dapat mengabulkan permintaan anaknya.
“Betul apa yang dibilang ibumu Bande, bapak sangat mendukung semangatmu itu, sekarang kamu siap-siaplah dan pergi ke lapangan sukawa, disana biasanya ada mobil perpustakaan yang mangkal dan melayani masyarakat yang ingin membaca”. Tanggapan sang bapak yang mendukung anaknya.
Setelah mendengar perkataan bapaknya, Bande langsung bersiap-siap untuk pergi ke lapangan yang telah disebutkan ayahnya. Bande pergi dengan semangat yang membara, walaupun ia tidak mengantongin serupiah pun uang. Ketika di tengah perjalanan ia bertemu dengan Adelio murid terpintar di kelasnya. Adelio yang terheran melihat Bande yang tergesa-gesa dan semangat sekali, sehingga ia bertanya,
”Wei anak bodo, mau kemana kamu?”.
“Hei Adelio, gak ada, ini rencananya mau ke lapangan sukawa, karena kata bapakku disana ada mobil perpustakaan, aku mau membaca dan belajar”. Jawaban Bande.
“Hahaha, jangan sok-sok an belajarmu Bande bagaimanapun kamu tetap saja bodoh, ga akan bisa mengalahkan aku”. Tanggap Adelio dengan sombongnya.
Walaupun mendapat cemooh-an dari Adelio tidak menyurutkan semangat Bande untuk belajar walaupun itu dari bawah sekali.
Setelah berjalan selama 30 menit, akhirnya Bande sampai di lapangan sukawa, dan ternyata seperti yang disampaikan bapaknya, memang disana terdapat mobil perpustakaan yang menyediakan berbagai macam buku. Disana ia memulai dengan buku terbawah dahulunya, seperti buku hitungan anak-anak, sejarah buat anak-anak dan lain sebagainya. Satu hari yang penuh dengan semangat telah dilaluinya, ia kemudian pulang dan melaporkan kebahagiaannya kepada kedua orangtuanya. Kedua orangtuanya sangat berseri wajahnya melihat sang anak bahagia karena belajar. Pada hari berikutnya, ia kembali mendatangi lapangan tersebut, dan kembali membaca buku sekaligus mencatatnya kembali di buku catatannya yang telah lusuh. Begitulah yang Bande lakukan berhari-hari dengan semangat yang membara untuk menuntut ilmu di balik segala kekurangannya.
Sebagaimana kata pepatah “usaha tidak akan mengkhianati hasil” begitulah yang dirasakan Bande setelah sekitar 4 bulan bolak-balik dari rumah kelapangan untuk membaca buku dan menambah wawasannya. Di kelas ia telah memperoleh nilai-nilai yang bagus walaupun ia belum bisa mengalahkan Adelio, tapi bukanlah untuk berkompetensi usaha dia selama ini, tapi ia berusaha untuk meningkatkan kemampuannya. Karena para sahabatnya melihat perubahan pada pengetahuan Bande, timbullah manusia-manusia yang merasa iri hati dengan kemajuan Bande, hingga pada suatu saat ketika pulang sekolah Bande dihadang oleh Adelio dan teman-temannya.
Mereka tidak hanya sekedar menghadang Bande, tetapi mereka juga menghina dan menjatuhkan harga diri Bande bahkan mereka sampai berbuat kekerasan pada Bande dengan memukul dan mendorongnya sehingga ia jatuh kesakitan, lalu ditinggalkna oleh Adelio dan teman-temannya. Bande hanya diam melihat apa yang telah dilakukan teman-temannya kepada dirinya, tetapi hal tersebut tidakklah menyurutkan tekad dan semangat Bande, bahkan Bande menjadikan hal tersebut untuk terus bertahan dan bangkit dari segala yang diucapkan oleh teman-temannya. Bulian teman-temannya tidak hanya sampai disitu, mereka dengan terus-terusan mengerjai Bande dengan berbagai tindakan yang mereka tujukan kepadanya. Hingga pada suatu hari ketika Bande hendak pergi ke lapangan, ia harus menghdapi jebakan teman-temannya, yang mana jebakan tersebut membuat Bande jatuh ke dalam lubang yang cukup dalam, Lalu Adelio dan teman-temannya pergi meninggalkan Bande dalam lubang tersebut. Hingga ketika hujan turun dengan derasnya dan Bande terus-terusan berteriak meminta pertolongan, tidak
ada yang mendengarkannya, setelah air dalam lubang tersebut setinggi pinggang Bande, ia mendengar suara langkah kaki yang mendekati lubang tersebut. Ketika telapak kaki tersebut makin dekat, Bande berteriak sekencang-kencangnya, sehingga orang tersebut mendekati lubang dan menenmukan Bande di dalamnya.
Bapak tersebut kemudia mengeluarkan Bande dari dalam lubang tersebut dan sekaligus memapah Bande yang terlihat lemas sekali ke bawah sebuah pohon besar. Di bawah pohon tersebutlah Bande menceritakan segala halnya, Bande menceritakan bagaimana dirinya di sekolah dahulu mendapatkan nilai paling rendah terus, kemudian dia bangkit dengan tiap hari mendatangi mobil perpustakaan di lapangan sukawa, kemudian dia memiliki perkembangan dalam pembelajaran di sekolah, akan tetapi hal tersebutlah yang memancing keusilan dan kedengkian temannya. Bapak tersebut mendengarkan cerita Bande dengan sangat serius ditambah ia merasa sedih mendengar cerita Bande. Sehingga bapak tersebut memeluk Bande dengan kuat dengan mengusap kepalanya sambil memberikan nasehat,
“Nak, bapak sangat sedih mendengar cerita kamu, tetapi begitulah perjuangan nak, perjuangan tidak ada yang mudah, kamu harus tetap semangat dan jangan pernah terpatahkan oleh teman-teman mu itu,
Mereka hanya cemburu melihat usahamu dan takut kalah denganmu” begitulah nasehat dan semangat yang diberikan oleh bapak tersebut.
Nasehat tersebut kembali mengukir senyum dan kecerahan wajah seorang Bande, Bande yang kembali mendapatkan semangatnya bangkit serta menyalami dan memeluk bapak yang telah membantunya dan membakar kembali semangatnya. Bande yang baru saja bangkit segera berjalan pulang dengan suasana masih gerimis, setibanya di rumah ia mengganti bajunya dan memutuskan kembali berjalan menuju lapangan dengan suasana yang telah kembali cerah. Setibanya di lapangan ia langsung mendekati mobil perpustakaan tersebut, ketika itu ia menemukan sebuah buku karangan Abdul Muiz yang berjudul “Salah Asuhan”. Setelah membaca buku tersebut Bande menyadari bahwasanya perjuangan kemerdekaan bangsa ini tidak hanya melalui angkat senjata, akan tetapi mengangkat pena pun memiliki kontribusi yang besar dalam menyadarkan masyarakat dan mengkritik pemerintahan Belanda pada saat itu. Kesadaran seorang Bande akan isi suatu buku membuktikan betapa tajamnya pemikiran atau kritisasi dari seseorang Bande.
Pada saat itu Bande memutuskan untuk lebih tekun lagi dalam menulis, sehingga setiap apapun yang lewat dalam pikirannya akan dia tulis, hingga pada satu waktu petugas perpustakaan yang penasaran dengan Bande datang menghampiri Bande, dengan berbicara-bicara santai, selanjutnya mata petugas tertuju pada tulisan-tulisan yang dibuat oleh Bande. Petugas perpustakaan tersebut melihat dan memahami apa isi dari tulisan seorang anak yang setiap hari datang ke mobilnya. Setelah membaca semua tulisan yang ditulisnya, petugas tersebut merasa kagum
dan salut akan tulisan yang dibuatnya. Petugas ini melihat Bande memiliki kemampuan dalam hal jurnalistik dan tulisan, kemudia dia menawarkan Bande untuk ikut bersamanya sesekali ke gedung perpustakaan, yang mana nanti ia akan menemukan buku yang lebih banyak lagi. Karena Bande memikirkan sekolahnya, ia meminta tolong kepada petugas untuk ikut bersama petugas pada hari Minggu saja. Kemudian pada hari minggunya Bande pergi ke gedung perpustakaan bersama salah satu petugas, dan ternyata Bande tidak hanya sekedar dibawa ke perpustakaan, tetapi ia dikenalkan dengan pimpinan perpustakaan tersebut. Siapa sangka orang yang dahulu menolongnya ketika hujan-hujan merupakan pimpinan perpustakaan tersebut. Bande yang terkejut melihat orang di depannya merupakan orang yang telah menolongnya, dengan respect Bande langsung menyalami bapak tersebut.
Pimpinan perpustakaan yang telah mendengar cerita tentang kemahirannya dalam menulis dari petugas perpustakaan keliling, semakin dengan kompetensi yang ada dalam dirinya. Setelah cerita-cerita santai, kepala perpustakaan ingin membaca seluruh tulisan Bande. Setelah membaca tulisan tersebut ia sangat tertarik dengan isi yang ada di dalamnya yang dapat memotivasi seseorang untuk tidak berhenti membaca. Karena ketertarikannya tersebut pimpinan perpustakaan meminta izin kepada Bande untuk mencetak dan menerbitkan buku tersebut. Bande yang
merasa sangat bahagia langsung menyetujui permintaan pimpinan perpustakaan tersebut. Pimpinan perpustakaan tidak hanya menawarkan untuk menerbitkan buku, Bande juga ditawarkan untuk menjadi salah satu penulis di perpustakaan tersebut, serta ia akan diberi fasilitas motor untuk bolak-balik ke perpustakaan. Beberapa minggu berikutnya buku karangan Bande telah terbit, dan siapa sangka buku perdana Bande sangat laku di pasaran, karena isi bukunya bukan hanya sekedar tulisan, tapi menggambarkan bagaimana anak muda dengan buku dapat berkembang. Hal tersebut diketahui oleh pihak sekolah, dan hal tersebut sangat mengejutkan guru-guru disana, sehingga guru-guru tersebut mengucapkan selamat sembari memeluknya, dan mohon maaf karena dulu telah menyerah akan dirinya. Apalagi dengan Adelio dan temannya, mereka merasa terpukul sekali melihat kemajuan seorang yang dianggap alas kaki sekarang telah melampaui mereka.
Sehingga ketika ujian kelulusan, Bande memperoleh nilai tertinggi di kelasnya serta di sekolahnya. Walaupun demikian tak sedikitpun terbesit di pikiran Bande untuk sombong. Hasil ujian tersebut pun dapat membawa dia untuk melanjutkan ke universitas ternama dengan beasiswa. Bande sangat merasakan perubahan dirinya dari sebelum memperbanyak literasi dengan setelah memperbanyak literasi. Bande berfikiran bijak seperti ini,
“Buku merupakan pisau, buku merupakan api, maka semakin pisau dibakar dan dipanaskan dengan api semakin ia lunak dan tajam”.
Penulis: Elgi Kurniawan