
Saat ini, isu moderasi beragama menjadi pembahasaan universal dalam lingkungan Kementerian Agama. Hal ini berarti moderasi beragama tidak hanya fokus dalam tubuh Islam saja, tetapi melingkupi semua agama dan perspektif lain yang ada di Indonesia. Moderasi beragama muncul bukan karena dinamika dalam Islam saja, tetapi beragamnya Indonesia dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika-nya. Di samping hal itu, Kementerian Agama menghimbau seluruh tokoh agama yang ada di Indonesia untuk merumuskan moderasi beragama tersebut. Program ini ditanggapi baik oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Perpres No.58 tahun 2023 tentang penguatan moderasi beragama (PMB).
Berbicara mengenai sebuah isu tentu sudah pasti memiliki esensi bagaimana isu tersebut menjadi topik pembicaraan. Seperti moderasi beragama yang memiliki empat pilar yaitu, komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan, dan akomodatif terhadap nilai budaya lokal. Ke empat pilar tersebut menegaskan bahwa moderasi beragama menekankan pada nilai kebangsaan dan persatuan dalam menjalankan agama di Indonesia, serta proses akomodasi terhadap budaya-budaya yang telah berkembang di Indonesia.
Dalam perwujudannya, Perguruan Tinggi Islam berperan sebagai tonggak estafet yang akan melahirkan akademisi Islam, dimana secara khusus memegang peranan yang sangat krusial. Selain sebagai sarana pendidikan, perguruan tinggi juga harus mampu melahirkan akademisi yang mampu menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul di lingkungan masyarakat. Sehingga perguruan tinggi sudah seharusnya menjadi pelopor utama dan lambang dari sifat kemoderatan tersebut. Harapannya, di masa depan akan lahir sarjana-sarjana yang memiliki jiwa toleransi tinggi terhadap pengaplikasian agama, dengan syarat tidak terlalu berlebihan, seperti ikut-ikutan dalam ritual agama lain.
Wujud komitmen dari Perguruan Tinggi Islam bahwasanya banyak dari instansi tersebut yang membuka peluang bagi non-muslim untuk menjalankan pendidikan di kampus mereka. Meskipun demikian, dalam tubuh Perguruan Tinggi Islam masih banyak oknum yang hanya fokus pada moderasi lintas agama saja dan kurang akan moderasi dalam tubuh agama Islam itu sendiri. Idealnya kampus Islam harus mampu mengakomodir moderasi dalam dua lintas agama tersebut dan khususnya dalam penjalanan syariat agama Islam. Hal ini disebabkan keanekaragaman tafsiran hukum yang dihasilkan oleh para ulama.
Dalam beberapa kasus masih banyak dosen yang kurang memperhatikan isu moderasi dalam Islam ini. Seperti, banyak ditemukan dalam penggunaan cadar. Jika kita lihat cadar sendiri memiliki beberapa hukum, mulai itu sunnah, mubah bahkan ada yang mengatakan itu hanya kondisional di Arab. Sehingga, dalam hal ini perguruan tinggi seharusnya mampu menghargai hal tersebut, bukan alih-alih meminta mahasiswa yang bersangkutan untuk membukanya. Memang kelas setiap dosen memiliki aturan tersendiri, tetapi dengan kuatnya moderasi beragama tidaklah sampai pada hal tersebut.
Moderasi akan sulit bahkan tidak bisa diwujudkan apabila tenaga pendidik masih melakukan deskriminasi terhadap penjalanan syariat (relatif berdasarkan pendapat yang dipegang). Seharusnya pihak Kemenag harus menanamkan kemoderatan kepada tenaga pendidik di bawahnya, karena keberlanjutan dan pemikiran penerus bangsa ini akan dibentuk di lingkungan kampus, khususnya kampus Islam. Kampus sering sekali mengadakan seminar moderasi, tetapi pendidiknya tidak melaksanakan hal tersebut secara utuh dalam lingkungan kampus.