
Di era modern ini, istilah healing semakin populer di kalangan anak muda. Setiap kali merasa lelah, tertekan, atau kecewa, banyak yang memilih untuk healing sebagai solusi. Istilah ini sering diasosiasikan dengan jalan-jalan ke tempat wisata, menikmati makanan mahal, atau sekadar bersantai tanpa beban. Namun, apakah healing benar-benar membantu mengatasi masalah, atau justru hanya menjadi bentuk pelarian dari kenyataan?
Secara harfiah, healing berarti proses penyembuhan, baik secara fisik maupun mental. Dalam konteks kesehatan mental, healing merujuk pada upaya seseorang untuk mengatasi stres dan menemukan ketenangan. Sayangnya, di era digital, makna healing sering kali mengalami pergeseran. Alih-alih menjadi proses pemulihan yang mendalam, healing lebih sering dikaitkan dengan aktivitas konsumtif dan instan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap orang membutuhkan waktu untuk menenangkan diri. Namun, ada perbedaan antara healing yang sehat dan sekadar lari dari masalah. Banyak anak muda yang merasa stres karena pekerjaan, hubungan sosial, atau tekanan hidup lainnya, lalu memilih untuk healing dengan bepergian atau belanja tanpa berpikir panjang. Padahal, ketika momen healing berakhir, masalah tetap ada dan harus dihadapi kembali. Menghindari masalah dengan dalih healing hanya memberikan ketenangan sesaat, bukan solusi nyata. Ini bisa menciptakan pola kebiasaan di mana seseorang terus-menerus mencari pelarian daripada menghadapi kenyataan. Akibatnya, mereka menjadi lebih rentan terhadap stres berkepanjangan karena akar permasalahan tidak pernah terselesaikan.
Tren healing juga semakin dipopulerkan oleh industri yang memanfaatkannya sebagai peluang bisnis. Wisata, produk self-care, makanan sehat, hingga fashion kini dikemas dengan narasi healing. Akibatnya, banyak yang berpikir bahwa untuk healing, seseorang harus mengeluarkan uang dalam jumlah besar. Padahal, penyembuhan diri tidak selalu harus mahal atau mewah. Konsep healing yang terlalu konsumtif juga bisa berbahaya. Orang-orang cenderung membandingkan diri mereka dengan standar healing yang dipamerkan di media sosial. Jika mereka tidak bisa melakukan hal yang sama, mereka justru merasa semakin tertekan. Hal ini menunjukkan bahwa healing yang berorientasi konsumsi lebih banyak membawa dampak negatif daripada manfaat yang sesungguhnya.
Healing yang sesungguhnya bukan sekadar menghindari masalah, tetapi proses pemulihan yang berorientasi pada pertumbuhan diri. Ada banyak cara healing yang tidak memerlukan biaya besar dan lebih bermakna, seperti refleksi diri melalui menulis jurnal atau berbicara dengan seseorang yang dipercaya, mendekatkan diri kepada Tuhan melalui ibadah dan doa, mengelola emosi dengan meditasi atau olahraga, serta mengembangkan keterampilan baru yang memberikan rasa pencapaian dan kepuasan. Ketika seseorang benar-benar memahami makna healing, mereka tidak akan lagi terjebak dalam budaya konsumtif atau kebiasaan melarikan diri dari masalah. Mereka akan lebih fokus pada bagaimana menyelesaikan permasalahan dengan cara yang lebih sehat dan berkelanjutan.
Budaya healing yang berkembang di kalangan anak muda saat ini perlu dikritisi. Tidak semua bentuk healing membawa manfaat nyata, terutama jika hanya menjadi pelarian dari tanggung jawab. Healing yang sejati adalah proses penyembuhan yang melibatkan refleksi diri, pengelolaan emosi yang sehat, serta usaha nyata untuk menyelesaikan masalah. Dengan memahami healing secara lebih bijak, anak muda dapat mencapai keseimbangan hidup yang lebih baik tanpa harus terjebak dalam konsumsi berlebihan atau ilusi ketenangan sementara.