Five Roads, One Journey

Mentari sore menyapa kampus, cahaya keemasannya menyinari gedung-gedung megah yang berdiri kokoh. Di bawah rindang pohon trembesi di halaman kampus, Aditya, Lyra, Aela, Aurelia, dan Kiana, lima sekawan dengan karakter yang berbeda-beda, berkumpul seperti biasa. Semester lima, ujian tengah semester sudah di depan mata, namun suasana terasa lebih santai. Udara sore yang sejuk membawa aroma kopi dari cafe kecil di sudut kampus, bercampur dengan aroma tanah yang lembab setelah hujan rintik-rintik tadi siang.

Aditya, mahasiswa Ilmu Informatika, asyik membaca novel tebal di tangannya. Buku itu tampak usang, penuh coretan dan catatan kecil, ide-ide cerita yang tiba-tiba muncul di kepalanya. Ia memang punya hobi menulis novel, meskipun banyak kendala yang dihadapinya. Ia kerap bergulat dengan ide-ide cerita yang muncul tiba-tiba, namun seringkali kesulitan menuangkannya ke dalam bentuk tulisan yang rapi. Sifatnya yang humble dan setia pada pacar tak mengurangi fakta bahwa ia adalah tipe pria yang “sat set”, namun satu prinsipnya tak pernah berubah yaitu teman selalu diutamakan. Ranselnya, selalu penuh dengan buku-buku dan sketsa kasar cerita-ceritanya.

Lyra, pacarnya Aditya, mahasiswa Hukum, duduk di sampingnya, sesekali melirik ke arah Aditya dengan tatapan waspada. Rambut panjangnya yang terurai indah sesekali ia mainkan, jari-jarinya sibuk mengepang dan melepaskan kepangan itu berulang kali, mencerminkan kegelisahan hatinya. Lyra adalah gadis yang petakilan, mudah baper, dan emosinya masih gampang meledak. Ia juga sangat manja pada Aditya, membuat Aditya seringkali dibuat pusing tujuh keliling. Namun di balik sikap manjanya, tersimpan kasih sayang yang begitu besar untuk Aditya dan teman-temannya.

Aela, mahasiswa Ilmu Komunikasi, sibuk mendesain di laptopnya. Suara ketukan keyboard terdengar nyaring di tengah suasana sore yang tenang. Pipinya sedikit memerah, mungkin karena pagi tadi Aurelia kembali menjodoh-jodohkannya dengan seorang senior tampan dari jurusan Teknik Sipil. Aela memang anti dekat dengan cowok asing, namun pipinya selalu bersemu merah jika dijodohkan. Ia adalah sosok yang tangguh dan selalu menjadi tempat bergantung teman-temannya. Ranselnya berisi buku sketsa dan alat-alat desainnya.

Aurelia, mahasiswa Bimbingan Konseling, sibuk mengabadikan momen sore itu dengan kameranya, sebuah kamera DSLR canggih yang selalu ia bawa. Ia sesekali melirik ke arah Aditya dan Lyra, senyumnya mengembang. Aurelia memang pintar, namun sedikit malas, dan menjadi incaran banyak laki-laki. Namun, hatinya hanya untuk satu orang, yaitu pacarnya. Kebucinannya yang kelewatan itu seringkali membuat teman-temannya tertawa. Ranselnya berisi kamera dan berbagai aksesoris fotografi.

Kiana, mahasiswa Ilmu Komunikasi, duduk diam mengamati teman-temannya. Ia terlihat tenang dan kalem, membaca novel di tangannya. Kiana adalah gadis yang mandiri dan cerdas, namun antipati pada cowok sejak diselingkuhi mantan pacarnya. Ia menganggap semua cowok sama, kecuali satu orang, seorang senior dari jurusan Sastra Arab yang menurutnya berbeda. Ia menyimpan perasaan itu dalam hati, tanpa berani mengungkapkan. Ranselnya berisi buku-buku dan naskah cerita yang sedang ia tulis.

“Dit, kamu kok nggak belajar sih? Besok ujian lho!” Lyra tiba-tiba berseru, suaranya sedikit meninggi. Aditya hanya tersenyum santai, “Santai, Ly. Aku udah baca semua materi kok.”

“Itu sih kata-katamu. Aku khawatir kamu nggak serius belajar,” Lyra kembali protes, matanya berkaca-kaca. Aditya menghela napas, “Aku serius, Ly. Lagian, aku kan juga lagi nulis novel. Ini juga butuh konsentrasi, tau!”

Aela menimpali, “Udah, udah, jangan berantem terus. Lyra, kamu juga harus percaya sama Aditya. Dia kan nggak pernah bohong.”

Aurelia mengangguk setuju, “Iya, nih. Lagian, Aditya kan selalu mentingin kita. Dia udah janji bakal bantu kita belajar nanti malam.”

Kiana tersenyum tipis, mengamati interaksi teman-temannya. Persahabatan mereka memang unik, penuh warna, dan tak pernah membosankan. Aditya yang cuek, Lyra yang emosional, Aela yang tegas, Aurelia yang bucin, dan dirinya yang mandiri. Mereka berlima, bagaikan sebuah mozaik yang saling melengkapi. Di tengah perbedaan karakter mereka, terjalin ikatan persahabatan yang begitu kuat.

Tiba-tiba, Lyra berteriak, “Dit! Aku mau beli minum dulu, ya!” Ia langsung pergi, meninggalkan Aditya yang masih asyik dengan novelnya. Aela menggelengkan kepala, “Itu Lyra, kalau sudah ngilang susah dicari.”

Aurelia menyambar, “Eh, Dit, aku laper nih. Mau traktir?” Aditya mengangguk, “Ayok, tapi traktirnya di kantin sederhana aja ya, uangku lagi menipis.”

Kiana tersenyum kecil, melihat persahabatan mereka yang begitu erat. Di tengah kesibukan kuliah dan ujian yang mendekat, persahabatan mereka tetap menjadi hal terpenting. Bahkan lebih penting daripada pacar, kata Aditya. Dan itu, bagi mereka berlima, adalah sebuah kesepakatan yang tak tertulis, sebuah kode persahabatan yang begitu kuat dan tak tergantikan. Persahabatan mereka, bagaikan sebuah ransel penuh mimpi, penuh lika-liku, penuh warna, dan tak pernah membosankan, sebuah kisah persahabatan yang akan selalu dikenang. Kisah tentang semester lima dan segala isinya. Kisah tentang lima sekawan dan mimpi-mimpi mereka yang tersimpan rapi dalam ransel masing-masing.

Loading

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *