
LPM Al-Itqan – Di sebuah kafe yang tenang, yang menjadi saksi bisu empat tahun kisah mereka, Aisyah memegang gelas tehnya yang sudah dingin. Di depannya, Dimas tersenyum hangat, menceritakan rencana perjalanan mereka ke Gili Trawangan, Lombok tahun depan. Senyum Dimas tak pernah gagal menenangkan hatinya, namun malam ini, senyum itu terasa seperti belati yang menusuk.
Empat tahun. Hubungan mereka adalah kisah yang diwarnai toleransi dan pengertian yang luar biasa. Dimas, dengan keyakinannya, selalu menghormati waktu salat Aisyah, bahkan menjaganya saat Aisyah sedang beribadah. Mereka telah berjanji untuk saling menerima perbedaan agama ini, mencoba membangun jembatan di atas jurang keyakinan.
Namun, sejak Aisyah mengikuti majelis ilmu yang lebih mendalam, hatinya mulai gelisah. Ia belajar tentang walimah (pernikahan), tentang mahram, dan tentang janji suci yang harus dibangun di atas tauhid yang satu.
Seorang ustazah pernah berkata, “Cinta yang sesungguhnya adalah cinta yang menuntunmu ke Jannah, bukan yang menahanmu di dunia karena takut kehilangan. “Kalimat itu menghantam Aisyah. Ia menyadari, meski cinta mereka tulus, ia berdiri di persimpangan yang tak mungkin dilalui bersama.
Ia tahu, dalam keyakinannya, ia tidak bisa menikah dengan pria yang berbeda keyakinan, dan hubungan yang mereka jalani sebelum ikatan sah itu adalah jalan yang dilarang. Keputusan itu adalah yang terberat dalam hidupnya. Ini bukan hanya tentang putus cinta; ini adalah hijrah cinta yang menuntut pengorbanan terbesar, meninggalkan orang yang paling ia cintai demi ketaatan mutlak kepada Tuhannya.
“Dimas,” Aisyah akhirnya memecah keheningan, suaranya tercekat. “Ada yang harus kita bicarakan.”
Senyum Dimas meredup. Ia bisa merasakan ketegangan yang menyesakkan. “Ada apa, Sayang? Kau terlihat pucat.”
“Aku… aku harus mengakhiri ini, Mas.”
Dimas terdiam. Ia mencondongkan tubuhnya, berusaha membaca mata Aisyah yang kini berkaca-kaca. “Akhiri? Kenapa? Apakah karena Ibu? Aku sudah bilang, aku akan berusaha meyakinkan mereka.”
Aisyah menggeleng, air mata mulai menetes membasahi pipinya. “Bukan, Mas. Ini bukan tentang restu orang lain. Ini tentang… restu Allah.”
Ia menarik napas panjang. “Aku sedang berhijrah. Aku sedang mencoba memperbaiki hubungan terpenting dalam hidupku, yaitu hubunganku dengan penciptaku, dan jalan yang kita jalani ini, Mas, ini adalah penghalang terbesar bagiku.
Kita berdua tahu, kita tidak bisa menikah. Dan jika kita terus bersama tanpa ikatan yang sah, tanpa keyakinan yang sama, kita hanya membangun cinta di atas pasir yang rapuh, yang akan dihanyutkan dosa.”
Dimas menunduk. Rasa sakit terpancar dari matanya. Ia adalah pria yang rasional, tetapi hati tidak selalu bisa diatur logika.
“Kau bilang aku adalah belahan jiwamu. Kau bilang kita akan berjuang bersama. Sekarang, keyakinanmu memintamu untuk meninggalkanku? Setelah semua ini?” tanya Dimas, suaranya bergetar menahan emosi.
“Aku mencintaimu, Mas. Sungguh. Tapi cinta yang kuperjuangkan sekarang adalah cinta yang hakiki. Cinta yang harus kuletakkan di atas segalanya adalah cinta kepada Allah. Dan dia memintaku untuk memilih jalan yang berbeda. Aku harus patuh.” Aisyah meletakkan cincin pertunangan di atas meja, lambat dan hati-hati. Cincin itu berkilauan memantulkan cahaya kafe, seolah menangisi takdirnya sendiri.
“Aku melakukan ini bukan karena aku tidak mencintaimu, Mas. Justru karena aku sangat mencintaimu, aku harus membiarkanmu pergi dan aku harus kembali ke jalan-Nya. Aku hanya berharap, suatu hari nanti, kita bisa bertemu lagi di tempat yang Allah ridhai, dengan keyakinan yang satu.”
Malam itu, mereka berpisah. Dimas pergi dengan kekecewaan yang mendalam, dan Aisyah, meski hatinya hancur berkeping-keping, tetap berdiri tegak. Ia telah membuat pilihan yang terberat, membiarkan cinta duniawi yang begitu indah terlepas demi meraih cinta abadi yang dijanjikan.
Saat Aisyah berjalan pulang di bawah cahaya bintang, ia tidak lagi merasakan kehangatan pelukan Dimas, melainkan kekuatan dari iman yang menguatkannya. Ia tahu, ia telah berhijrah. Ia telah meninggalkan keindahan fana untuk mengejar keindahan hakiki. Perpisahan ini adalah bagian dari ibadah.
Ia percaya penuh pada janji Tuhannya: “Barang siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik.” Dan untuk saat ini, yang lebih baik itu adalah kedamaian di hati, setelah berhasil memenangkan pertempuran batin antara cinta dunia dan cinta Ilahi.
Penulis: Khaira Fitria
![]()
