
Bullying hari ini sudah seperti virus yang menjalar di setiap sudut kehidupan di sekolah, kampus, tempat kerja, bahkan di dunia maya. Lebih parahnya lagi, banyak orang masih menganggapnya biasa saja. Padahal, setiap tawa saat seseorang dipermalukan, setiap komentar pedas di media sosial, dan setiap ejekan terhadap fisik, warna kulit, gaya bicara, atau penampilan seseorang itu semua adalah bentuk kekerasan. Ya, kekerasan! Bukan “gurauan.” Bukan “candaan teman.”
Yang membuat topik ini semakin panas adalah kenyataan bahwa kita hidup di masyarakat yang diam. Kita melihat bullying, tapi pura-pura tidak tahu. Kita mendengar ada anak menangis karena dirundung, tapi malah menyuruhnya “sabar” atau “jangan baper.” Padahal, di balik kata “baper” itu, bisa jadi ada seseorang yang kehilangan semangat hidup. Betapa ironisnya pelaku tertawa, penonton diam, korban menderita.
Lebih menyakitkan lagi, sebagian pelaku justru datang dari mereka yang seharusnya memberi contoh, seperti senior di sekolah yang merasa berkuasa, influencer yang menggunakan platform-nya untuk menjatuhkan orang lain, atau bahkan orang tua yang menormalisasi kekerasan verbal dengan dalih mendidik anak. Ketika tindakan seperti ini dibiarkan, kita sebenarnya sedang membangun budaya kekerasan yang sistemik, budaya yang menanamkan bahwa merendahkan orang lain itu sah asal lucu, asal viral, asal ramai ditonton.
Dampak bullying bukan hal sepele. Banyak kasus menunjukkan korban bullying mengalami trauma jangka panjang, menarik diri dari pergaulan, hingga memilih jalan tragis mengakhiri hidupnya sendiri. Setiap kali berita seperti itu muncul, kita ramai bersedih di media sosial tapi hanya sebentar. Setelah itu, kembali lagi ke kebiasaan lama menertawakan, mengejek, dan mengabaikan. Bukankah itu bentuk kemunafikan sosial?
Sudah waktunya kita marah. Ya, marah!
Marah pada sistem yang membiarkan korban berjuang sendiri
Marah pada lingkungan yang lebih cepat menghakimi korban daripada menegur pelaku
Marah pada budaya yang menganggap empati adalah kelemahan
Bullying bukan hanya urusan sekolah atau media sosial ini urusan kemanusiaan. Setiap orang punya tanggung jawab moral untuk menghentikannya. Jangan tunggu ada korban lagi yang jatuh. Jangan tunggu sampai keluarga sendiri merasakannya.
Mari kita hentikan kebiasaan menormalisasi kekerasan dengan nama “candaan.”
Mari kita berhenti tertawa di atas penderitaan orang lain
Dan mari kita buktikan, bahwa kemanusiaan masih lebih kuat daripada ejekan
Stop bullying, karena diam juga bentuk kejahatan.
Penulis: Khaira Fitria