Negeri di Balik Layar: Jerit Sunyi dari Ruang yang Terdiam

Di dalam sebuah ruangan, saya melihat dari layar ponsel bagaimana keadaan yang terjadi sekarang di negeri tercinta ini, begitu banyak kejadian yang terjadi mulai dari pertahanan negara yang mana sekarang tidak hanya penjahat yang menjadi korban yang kehilangan nyawanya tetapi sesama  aparat pun harus sampai mengangkat senjata. Bagaimana politik sekarang? Bagi orang yang sudah muak dengan keadaan politik di negeri ini sudah menjadi sebuah lelucon yang tiada akhirnya.

Sebagai contoh pemerintah sekarang berebut-rebut untuk bisa menguasai sebuah pulau untuk kepentingan kelompok maupun pribadi. Seperti antara Sumatera Utara dengan Aceh dan orang Papua dengan Raja Ampatnya. Hanya sedikit yang bisa disampaikan kepada seluruh petinggi negara ini, ingat wahai penguasa sebelum bapak-bapak maupun ibu-ibu duduk di sebuah besi yang beralaskan sebuah kain yang diisi dengan kapas yang empuk itu, dan di ruangan yang bermesinkan sebuah alat yang membuat anda nyaman, bapak ibu meminta untuk dipilih jikalau kami tidak memilih kalian apakan kalian bisa seperti ini?

Jikalau terus begini keamanan negeri dikontrol dengan sebuah senjata, maka dialog dan keadilan akan terus terbungkam, dan masyarakkat tidak akan pernah merasa aman tinggal di rumahnya sendiri. Kasus penembakan antar anggota TNI dan Polri di beberapa daerah seperti Papua dan Sumatera Utara menunjukkan lemahnya koordinasi serta potensi konflik horizontal di tubuh penegak hukum sendiri (Komnas HAM, 2022). Tidak hanya itu saja. Konflik di Papua yang melibatkan aparat dan warga sipil kerap menimbulkan korban jiwa, termasuk yang bukan bagian dari konflik, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai perlindungan hak asasi manusia dan etika penegakan hukum.

Dimana letak janji-janji yang bapak ibu sampaikan ketika ingin duduk? Dimana pak buk..? Apakah kami yang di bawah ini akan selalu kena tindas seperti ini? Apakah iya? Jawab bapak ibu. Lihatlah kami wahai petinggi negara, dengarkan suara kami, benar suara kami tidak sebagus biduan-biduan negara yang ada di luar sana. Suara kami memang cempreng yang membuat telinga bapak ibu sakit mendengarnya, tetapi cobalah pak buk untuk mendengar suara cempreng kami ini dan berikan apresiasi.

Demokrasi elektoral tanpa akuntabilitas menjelma menjadi oligarki, rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu, tapi dilupakan saat kekuasaan telah diraih. Survei LSI (2024) menunjukkan bahwa hanya 18% masyarakat Indonesia yang masih percaya bahwa wakil rakyat benar-benar memperjuangkan aspirasi mereka.

Bukankah negara kita ini demokrasi? Tetapi mengapa rakyatmu merasa negara ini menjadi Oligarki maupun Monarki? Setiap rakyatmu bernyanyi dengan suara sumbangnya dan sedikit cempreng langsung dibungkan, langsung ditindas, langsung dapat intimidasi. Dimana letak Pancasila yang ke-5 itu wahai bapak ibu? Kalau memang ada sila ke-5 itu kenapa ketika kami yang bernyanyi langsung mendapatkan intimidasi? Tidak hanya itu sampai ada yang mati. Padahal mereka hanya ingin mengikuti kompetisi yang bapak ibu buat.

Negara yang takut pada suara rakyat bukan negara demokratis, melainkan otoriter yang diselimuti simbol-simbol demokrasi palsu. Kasus penangkapan aktivis dan pembubaran paksa demonstrasi mahasiswa masih terjadi di berbagai kota. Contoh nyata ketika insiden penangkapan mahasiswa di Makassar (2023) karena membawa poster bertuliskan “Turunkan Harga Pangan.

Indonesia sedang berada di persimpangan jalan, apakah akan terus melaju sebagai demokrasi substansial, atau terjerumus menjadi negeri yang membungkam suara-suara jujur warganya? Ini bukan hanya soal janji politik, tapi soal tanggung jawab moral. Karena demokrasi bukan hanya hak memilih, tapi juga hak untuk didengar termasuk suara yang cempreng sekalipun.

Penulis: Ahmad Zakiyul (Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam)

Loading

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *