Normalisasi Penggunaan Toga dan Kalung Kehormatan di Sekolah: Sebuah Fenomena yang Perlu Diperhatikan

Fenomena yang marak terjadi belakangan ini adalah acara perpisahan di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang meniru prosesi wisuda di perguruan tinggi. Dalam acara tersebut, para siswa mengenakan toga dan selempang, bahkan para guru pun ikut mengenakan kalung kehormatan layaknya pimpinan universitas.

Hal ini menimbulkan banyak tanggapan negatif dari masyarakat maupun kalangan civitas akademika. Toga dan kalung kehormatan bukan sekadar atribut seremonial, melainkan simbol sakral dalam dunia akademik. Tidak semua orang dapat mengenakannya begitu saja. Banyak perjuangan, pengorbanan, dan proses panjang yang harus ditempuh untuk akhirnya layak mengenakan toga. Bahkan mahasiswa pun enggan mengenakan toga bila belum benar-benar diwisuda, karena merasa belum pantas.

Secara pribadi, saya pun tidak sabar ingin mengenakan toga. Namun, saya menyadari bahwa toga adalah simbol pencapaian yang harus diperoleh melalui berbagai tahapan pendidikan. Kini, fenomena penggunaan toga oleh siswa SMP dan SMA seolah mengaburkan makna dari simbol tersebut. Toga diperlakukan layaknya kostum biasa yang bisa digunakan tanpa beban makna, hanya karena ingin terlihat formal dan meriah.

Lebih memprihatinkan lagi, beberapa guru turut mengenakan kalung kehormatan pemimpin universitas dalam acara perpisahan tersebut. Padahal, kalung itu melambangkan posisi yang dicapai melalui jenjang akademik yang panjang, pendidikan lanjutan, penelitian, pengabdian, dan kontribusi ilmiah. Menggunakannya hanya demi estetika acara tentu merendahkan nilai dan makna simbolik yang terkandung di dalamnya.

Benar bahwa tidak ada undang-undang yang secara eksplisit melarang penggunaan toga atau kalung kehormatan oleh siapa pun. Namun mari kita analogikan, apakah wajar siswa SMP mengenakan seragam SMA? Atau anak SD memakai seragam SMP atau SMA? Meski seragam itu tersedia secara bebas di pasaran, kita tahu bahwa pemakaiannya berkaitan erat dengan jenjang dan tanggung jawab pendidikan yang dijalani. Sama halnya dengan toga dan kalung kehormatan, meskipun bisa dibeli, bukan berarti dapat dikenakan oleh sembarang orang.

Toga bukan sekadar pakaian formal. Ia merupakan simbol pencapaian akademik, integritas, dan martabat dalam dunia pendidikan. Toga menandai selesainya sebuah proses panjang, dan menjadi penghormatan bagi para wisudawan. Maka, ketika atribut ini digunakan secara sembarangan, makna luhur di baliknya pun turut terkikis.

Lebih jauh lagi, fenomena ini juga menunjukkan adanya krisis makna dan penghargaan terhadap proses pendidikan itu sendiri. Ketika semua hal bisa direplikasi secara instan dan seremonial tanpa melalui proses yang sepadan, maka kita secara tidak sadar tengah menurunkan standar penghargaan terhadap pencapaian akademik. Bayangkan, bagaimana perasaan seorang mahasiswa yang harus berjuang bertahun-tahun untuk menyelesaikan skripsi, menjalani sidang, dan akhirnya diwisuda, melihat atribut wisudanya dikenakan oleh anak usia 15 tahun hanya karena perpisahan sekolah?

Tentu ini bukan masalah iri hati atau pelarangan kreativitas. Bukan pula soal siapa yang boleh dan tidak boleh bergembira dalam momen perpisahan. Masalahnya terletak pada hilangnya esensi. Ketika simbol-simbol kehormatan akademik digunakan di luar konteksnya, kita sedang membuka jalan menuju pemahaman yang salah terhadap nilai pendidikan itu sendiri. Nilai-nilai perjuangan, disiplin, dedikasi, dan pencapaian menjadi kabur hanya karena keinginan untuk terlihat meriah dan “kekinian.”

Alih-alih meniru prosesi akademik universitas, seharusnya sekolah-sekolah dapat lebih kreatif menciptakan konsep perpisahan yang sesuai dengan jenjang pendidikan yang ditempuh. Banyak alternatif bentuk penghargaan yang lebih tepat dan mendidik, seperti pemberian piagam, pertunjukan seni, atau prosesi yang menonjolkan nilai-nilai kebersamaan dan prestasi siswa secara orisinal.

Kita semua tahu bahwa perubahan budaya memang tidak bisa dihindari. Namun, tidak semua perubahan layak dinormalisasi. Khususnya dalam dunia pendidikan, kita perlu lebih berhati-hati dalam menempatkan simbol-simbol yang memiliki nilai filosofis dan sejarah yang mendalam. Toga dan kalung kehormatan bukan hanya kain dan logam, keduanya adalah representasi dari perjalanan intelektual yang panjang dan penuh perjuangan.

Maka dari itu, semoga fenomena ini dapat menjadi bahan refleksi bagi semua pihak, baik siswa, guru, orang tua, hingga pemangku kebijakan pendidikan. Kita perlu menanamkan kembali pemahaman bahwa setiap simbol memiliki maknanya masing-masing, dan tidak semuanya cocok dikenakan oleh siapa saja, kapan saja, dan dalam acara apa saja. Mari kita jaga kesakralan dunia akademik dengan cara menghormati proses, bukan hanya hasil.

Penulis: Ahmad Zakiyul (Mahasiswa KPI UIN Sjech M Djamil Djambek Bukittinggi)

Loading

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *