
Setiap tanggal 21 April, kita kembali diingatkan pada sosok yang namanya telah menjadi simbol emansipasi perempuan Indonesia, Raden Ajeng Kartini. Namun, memperingati Kartini seharusnya tidak hanya berhenti pada seremoni budaya atau peragaan busana tradisional saja. Tetapi lebih dari itu, ini adalah waktu yang tepat untuk merefleksikan posisi perempuan dalam sejarah dan realitas hari ini yakni sebuah perjuangan yang tak pernah usai.
Kartini hidup dalam keterbatasan sosial yang membelenggu perempuan Jawa pada awal abad ke-20. Namun dari balik dinding pingitan, ia menulis dengan semangat tentang hak perempuan untuk memperoleh pendidikan dan menentukan jalan hidupnya. Melalui surat-suratnya kepada sahabat pena di Belanda, Kartini menuangkan keresahan yang masih relevan hingga kini. “Apakah kami ini hanya diciptakan untuk menjadi alat melahirkan anak semata?” tulis Kartini, menyentil struktur patriarkal yang membatasi ruang perempuan pada zamannya.
Sejarawan Pramoedya Ananta Toer bahkan pernah menyebut Kartini sebagai “pintu gerbang pembebasan perempuan Indonesia”. Ia bukan sekadar penulis surat, Kartini adalah pelopor gagasan bahwa perempuan memiliki hak yang setara dalam berpikir dan bertindak.
Namun setelah lebih dari seabad berlalu, pertanyaannya; apakah terang yang dijanjikan Kartini benar-benar sudah terbit?
Dewasa ini, kita melihat perempuan menempati posisi strategis di berbagai bidang, menjadi pemimpin perusahaan, akademisi, bahkan kepala negara. Namun ironisnya, ketimpangan gender belum sepenuhnya terhapus. Data Komnas Perempuan tahun terakhir mencatat ribuan kasus kekerasan terhadap perempuan masih terjadi di Indonesia, sementara bias struktural dan budaya masih menyelimuti banyak lini kehidupan.
Dalam konteks sejarah yang lebih luas, perjuangan perempuan bukanlah cerita baru. Zaman Nabi Muhammad SAW menjadi titik penting dimana posisi perempuan mulai diangkat dari jurang kehinaan menuju kemuliaan. Khadijah binti Khuwailid adalah pengusaha sukses dan figur sentral dalam dakwah Nabi. Aisyah RA dikenal sebagai salah satu ulama perempuan pertama, perawi ribuan hadits dan pemikir kritis yang suaranya disegani.
Sejarawan Islam, Karen Armstrong, menulis, “The Prophet Muhammad was radical in his treatment of women. In a deeply patriarchal society, he gave them rights and a voice—something almost unthinkable at the time.”
Perempuan pada masa Nabi bukan hanya penonton dalam sejarah, melainkan aktor penting yang terlibat aktif dalam membentuknya. Mereka memimpin pasukan, menjadi penasihat, dan mendidik generasi. Suatu warisan yang hari ini patut dihidupkan kembali.
Kartini sendiri pernah menulis, “Gadis yang berpikiran maju tidak akan kehilangan keanggunannya, sebagaimana bunga tetap mekar di tanah yang keras.” Kutipan ini masih menyala, terutama bagi perempuan muda Indonesia hari ini, yang terus mengukir prestasi meski masih dihadapkan pada berbagai tantangan sosial.
Maka, memperingati Hari Kartini bukanlah ritual yang bersifat simbolik belaka. Ini adalah momentum untuk menyadari bahwa perjuangan perempuan, dari masa Kartini, zaman Rasulullah, hingga masa kini, adalah perjuangan yang saling bersambung dan terang yang dulu diperjuangkan, masih terus harus dinyalakan oleh kita semua.