
Matahari mulai condong ke barat, sinarnya yang keemasan menyinari jendela Kafe Mochi, memberikan pantulan cahaya yang hangat di lantai kayu. Kafe kecil itu terletak di sudut kota, terkenal dengan aneka mochi buatannya yang lembut dan lezat. Di bulan Ramadhan, kafe ini selalu ramai dikunjungi oleh orang-orang yang ingin berbuka puasa dengan sajian manis yang menggugah selera ini.
Di salah satu meja dekat jendela, Lala duduk sambil menatap jam di ponselnya. Lima belas menit lagi adzan Magrib berkumandang. Perutnya sudah kelaparan sejak tadi, tapi ia mencoba mengalihkan perhatian dengan melihat orang-orang di sekitarnya.
“Kenapa sih harus di sini?” tanya Rini, sahabatnya, sambil menopang dagu. “Bukannya kita biasanya buka di rumah aja?” Lala tersenyum kecil. “Aku cuma pengen suasana beda. Lagipula, kafe ini spesial buatku.”
Rini mengangkat alis. “Spesial gimana?” Belum sempat Lala menjawab, seorang pelayan datang membawakan pesanan mereka, seporsi mochi coklat dengan taburan kacang almond, es teh manis, dan semangkuk sup hangat yang begitu harum. Aroma manis dari mochi bercampur dengan wangi teh melati, membuat perut mereka semakin lapar.
“Masih lima menit lagi,” kata Lala sambil melirik jam. “Kalau aku jadi kamu, pasti udah nyomot satu mochi sekarang,” Rini terkekeh.
Lala hanya tersenyum, lalu kembali memandang ke luar jendela. Di luar, langit mulai bergradasi antara jingga dan ungu. Mobil-mobil yang melintas tampak melambat, sementara orang-orang bergegas menuju tempat berbuka mereka masing-masing.
Lalu, seseorang masuk ke dalam kafe, membuat bel di atas pintu berbunyi. Lala menegang. Pria itu berjalan masuk dengan langkah ragu, matanya menyapu ruangan sebelum akhirnya bertemu dengan tatapan Lala.
Rini memperhatikan ekspresi temannya, lalu berbisik, “Kenal?” Lala mengangguk pelan. “Itu Adit.”
Rini membelalak. “Mantan kamu?” Lala mengangguk lagi. Adit, pria yang pernah mengisi hari-harinya beberapa tahun lalu, kini berdiri hanya beberapa meter darinya. Mereka berpisah bukan karena pertengkaran besar, tapi karena waktu dan keadaan yang tidak berpihak.
Adit juga tampaknya terkejut melihat Lala. Setelah beberapa detik terdiam, ia akhirnya berjalan mendekat. “Assalamualaikum, Lala,” sapanya, suaranya terdengar hati-hati.
“Waalaikumsalam,” jawab Lala dengan sedikit canggung. Rini menatap mereka bergantian, merasa seperti menonton adegan dalam film romantis. “Aku nggak nyangka ketemu kamu di sini,” kata Adit. “Aku juga,” Lala tersenyum tipis. “Kamu sering ke sini?”
Adit mengangguk. “Dulu sering. Sekarang baru sempat mampir lagi. Tempat ini masih sama seperti dulu, ya?”
Lala mengangguk pelan. Ada begitu banyak kenangan di kafe ini. Dulu, mereka sering datang ke sini setelah kuliah, menikmati mochi sambil berbicara tentang impian dan masa depan. Kini, mereka bertemu lagi, dalam keadaan yang berbeda.
Azan magrib berkumandang, membuyarkan keheningan di antara mereka. Lala mengangkat segelas air mineral dan berdoa sebelum meneguknya perlahan. Rini segera menyantap mochi pertamanya, sementara Adit kembali ke mejanya sendiri.
Namun, sebelum Adit benar-benar pergi, ia berbalik dan berkata, “Selamat berbuka, lala.” Lala tersenyum. “Kamu juga, Adit.”
Saat itu, lala menyadari bahwa beberapa kenangan tidak perlu dilupakan, hanya perlu disimpan dengan cara yang lebih baik. Kafe Mochi tetap sama, tapi dirinya telah berubah dan itu sudah cukup.