Manusia merupakan makhluk penghuni bumi selama berabad-abad dengan berbagai macam peradaban dan karya. Dengan setiap keturunan yang silih berganti manusia eksis menjadi salah satu makhluk yang di gelari dengan Homo sapiens Karena memiliki akal pikiran yang mapan tidak seperti halnya binatang yang bertumpu pada daya insting belaka.
Dengan seiring perkembangan waktu tersebut manusia dalam setiap generasinya memiliki keyakinan tersendiri terhadap kekuatan yang ada diluar dirinya sendiri. Yang kepercayaan itu di wariskan secara turun temurun dengan harapan agar dapat lestari kehidupannya dan berkembang seperti adanya sekarang ini. Kekuatan itu juga turut mengalami perkembangan seiring perkembangan dari peradaban manusia tersebut. Konsep kekuatan di luar dirinya ini yang mana kini di anggap sebagai “God/Rabb/Tuhan” dan menjadi kepercayaan bagi masyarakat primitif.
Pada normalnya Konsep ketuhanan seseorang berawal dari keyakinan pada satu tuhan (monoteisme). Yang mana karna berbagai faktor maka keyakinan tersebut berkembanga hingga menjadi berbagai metode baik itu Henoteisme, Politeisme, Dinamisme, dan Animisme.
Lain halnya pendapat dari salah seorang ahli yang bernama E.B Tylor, dalam pandangannya keyakinan manusia pada konsep ketuhanan berawal dari Dinamisme hingga mencapai puncaknya pada taraf monoteisme.
Yang mana awalnya manusia mempunyai keyakinan pada kekuatan atau energi tertentu yang mana kemudian energi tersebut dapat melekat pada benda-benda tertentu dan pun sebaliknya energi tersebut dapat hilang begitu saja pada benda tersebut. Energi ini memiliki pengistilahan yang berbeda-beda pada setiap daerah seperti manna di Malaynesia, kami di Jepang, Oudah di Afrika, dsb. Ciri khas dari energi ini memiliki lima sifat diantaranya, berkekuatan, tidak mempunyai tempat tetap, tidak dapat dilihat, tidak mesti baik ataupun buruk, serta bisa dikontrol dan sebealiknya. Kepercayaan dengan gaya tersebut dinamakan dengan Dinamisme.
Namun kemudian masyarakat primitif ini mengalami perubahan karna menganggap kekuatan ini begitu fleksibel. Mereka menganggap bahwa kekuatan pada roh lebih menarik karna roh tersebut telah berjasa bagi mereka entah itu dalam peoerangan maupun sebagainya. Kepercayaan pada roh ini bisa melekat pada patung, ujung tombak yang menusuk jasad tersebut bahkan pada batu nisan yang sebagai penanda kematian mereka. Initnya roh ini dapat masuk pada benda hidup maupun mati. Namun mereka percaya pada benda tersebut karena memiliki keajaiban pada benda tersebut yang merupakan bentuk dari manifestasi dari roh moyang mereka. Kepercayaan ini diistilahkan dengan Animisme.
Dari kepercayaan pada roh yang sebanyak mungkin dari leluhur mereka, kemudian kepercayaannya bergeser dari sebelumnya roh menjadi dewa. Pembeda dewa ini ialah karna memiliki peran dan kekuatan tertentu yang disesuaikan dengan keidentikkannya. Uniknya dalam keyakinan pada dewa ini, sifatnya menekankan pada fungsi dari dewa tersebut dan kemudian diberi nama sesuai fungsi tersebut. Dewa ini mengalami penambahan seiring berkembangnya kebutuhan manusia, maka disini lah semua dewa ini disembah dan memiliki peran tersendiri. Kepercayaan ini diistilahkan dengan paham Politeisme.
Seiring perkembangan tersebut manusia pun turut mengalami kesulitan dan merasakan repot dalam menyembah dewa-dewa ini. Bagaimana tidak, untuk meminta hujan sekalipun manusia harus menyembah dewa hujan dan memohon pada dewa kemarau agar tidak menghalangi dewa hujan. Dengan demikian masyarakat primitif ini kembali memusatkan kepercayaannya pada satu tuhan yang paling diunggulkan. Namun tidak berarti tidak menggap dewa lainnya. Seperti halnya dewa Zeus yang menjadi pimpinan seluruh dewa (prioritas), serta pada agama Yahudi mereka menganggap tuhan mereka yang bernama Yahwe memberi keistimewaan pada mereka karna selalu diberi kemenangan dalam berperang. Sehinggap kepercyaan pada satu tuhan unggul ini di istilahkan dengan paham Henoteisme.
Terakhir dari perkembangan manusia tersebut, Tuhan yang diunggulkan sebelumnya menjadi tuhan satu-satunya. Karna menganggap Tuhan yang lain tidak baik dan tidak berperan semestinya. Maka dalam tatanan ini masyarakat primitf akhirnya bergeser pada paham Tuhan yang satu dan Esa seperti yang diistilahkan dengan Monoteisme.
Jika dirunut maka evolusi ini membutuhkan waktu yang panjang, namun bukan berarti membuat ini menjadi digeneralisirkan pada seluruh masyarakat primitif di dunia. Karna di beberapa daerah masih ada yang tetap mempertahankan kemapanannya dalam konsep ketuhanan pada taraf-taraf baik itu Dinamisme, Animisme, Henoteisme, maupun Politeisme. Bisa jadi pada peradaban maju sekalipun manusia tetap menyandarkan kepercayaan pada benda tertentu (Dinamisme) memiliki kekuatan tertentu seperti keris, batu, jimat dsb. Meski mereka mengaku percaya pada satu Tuhan.
Dan mirisnya seperti yang hangat dalam perbincangan sekarang yang manusia awalnya Homo Sapiens beranjak menjadi Homo Digitalis yang menumpukan seluruh kepercayaannya pada media sosial dan bahkan lebih panik kehilangan gawai ketimbang kehilangan akal sehatnya.