Mengulik Kekayaan Kearifan dari Wilayah Timur

Pernahkah kita berfikir seperti apa nenek moyang kita dahulu? Bahkan sejak sebelum adanya kolonialisme? Apakah mereka bodoh dan terbelakang dari segi cara berpikir dan filosofis. Di tengah dominasi pengaruh barat baik pikiran, pola hidup, hingga pemaknaan hidup. Kita sering terlupa akan nilai luhur kita yang kaya akan filosofi yang telah dirumuskan turun-temurun dari sejak ribuan tahun sebelum masehi.

Filsafat Timur merupakan kearifan yang tumbuh selain di daerah eropa (barat) yang mana baru mengenal Filsafat sejak zaman Yunani klasik yang di pelopori oleh Socrates. Hal ini jauh berbeda dengan daerah Timur tepatnya India yang telah mengenai Filsafat dengan nama Darsana dengan term yang lebih luas pemaknaan ketimbang Filsafat.

Hingga ratusan tahun kemudian diferensi corak tersebut semakin jelas terlihat. Filsafat Barat yang hadir dengan asas rasional dan progresif sedangkan Filsafat Timur hadir dengan asas spiritual dan harmonis.

Ach. Dhofir Zuhry atau biasa dikenal dengan Gus Dzhofir menyajikan gambaran akan filsafat bagaimana filsafat timur dengan unik dan khas. Hal ini terlihat dalam penyajian rentang waktu dan tahun serta perkembangannya dengan satu tabel, membuat para pembaca lebih mudah memahami akan proses perkembangan filsafat di daerah timur.

Dalam permulaannya beliau menulis: “Bayi” filsafat itu semula ketika lahir bernama “Veda”. Sesudah itu mulai bias berjalan dan berlari, ia diberganti nama menjadi “Epos”. Tak lama setelah memasuki masa remaja yang menggelisahkan, Epos lebih menyukai sebutan “Sutra” sebagai jati dirinya. Dan, Ketika menapaki gerbang kedewasaan, ia bermertamorfosis menjadi “Arya”. Begitu memasuki kematangan dan usia emasnya, Arya telah mantap menjelma menjadi “Jivan Mukti”. Sontak menjadi tanda tanya untuk dianalisis mendalam akan apa Veda yang dimaksud.

India dengan segala kearifan nilai luhurnya diawali dengan kehadiran paham Hinduisme. Bukan hanya seperti kita pahami sebagai agama,  Hinduisme bahkan melampaui agama tersebut. Segala bentuk kebijaksanaan yang tertulis dalam kitab Veda, Upanishad dan kitab kearifan lainnya menjadi pedoman hidup bagi masyarakat setempat.

Hingga menyebar mencapai pegunungan Himalaya tepatanya Nepal saat ini. Seorang anak bangsawan yang lahir dari kenyamanan sebagai kelurga kerajaan, mencoba untuk keluar dari “zona nyamannya” dan ingin mengetahui bagaimana dunia bekerja. Ia bernama Sidharta Gautama, saat pertama kali keluar, ia begitu heran dengan tiga tanda yakni adanya orang tua, orang sakit, hingga orang mati (jenazah). Sontak hal tersebut menjadi tanda tanya bagi dia kepada pengawalnya mengapa hal ini bisa terjadi. Hingga setelah mendapat penjelasan, ia memutuskan untuk mengembara ke berbagai negeri dan beberapa guru dan melakukan perjalanan spiritual untuk menemukan makna hidup.

Dalam proses kontemplasi tersebut, Sidharta kemudian menyerap setiap ilmu dari guru yang ia temui. Ia meninggalkan kepercayaan sebelumnya yang didominasi oleh Hinduisme, karena ia menganggap sistem kasta tidak begitu relevan terhadap manusia telah mencapai Buddha yakninya orang yang telah tercerahkan atau berpengetahuan. Lain halnya di negeri China yang biasa dikenal dengan “Bintang Kejora”, sejak sebelum kedatangan Buddhisme (600-400 SM), telah lahir beberapa tokoh pemikir beradab yang memiliki pengaruh yang kuat seperti Konfusius, Lao Tzu, Mo Tzu. Tidak seperti Yunani yang melakukan demitologiasi, China telah melampui hal demikian, mereka memiliki peradaban yang kental akan “way of life”.

Konfusius dengan menaqibnya yang ditulis oleh Gus Dhofir, ”Dia yang ingin melayani orang lain dengan kebaikan, telah melayan dirinya sendiri”. Konfusius yang lahir di tengah keadaan wilayahnya sedang dipenuhi pemberontakkan, pembunuhan, hingga gerakan separatis atas keselewengan pemerintahan di saat itu. Secara nyata Konfusius hidup dengan kondisi psikologis yang traumatis akan kejadian yang terjadi di setiap hari pertumbuhannya. Hingga kemudian dengan proses aktualisasinya ia memberi pengaruh landasan Humanisme yang pada nantinya menjadi titik contoh bagi bangsa Barat.

Kemudian seperti halnya konfusius, salah seorang tokoh yang terkenal dengan nama Lao Tzu, lahir dalam degradasi moral yang sangat tajam di wilayahnya. Dengan kondisi psikologi traumatis yang serupa, ia melakukan segala upaya hingga memberikan jawaban terhadap akan proses integrasi antara alam dan manusia sebagai harmoni. Taoisme biasa dikenal dengan agama, juga memberi pandangan hidup terhadap manusia agar memposisikan diri setara dengan alam.

Hingga pada akhirnya muncul sebuah proses aktualisasi dari ajaran-ajaran tersebut yang dinamakan dengan Neo-Konfusianisme. Yang dari ajaran Konfusianisme dan Taoisme diserap dan diakulturasikan menjadi satu.  Hingga tak lupa juga, Gus Dzhifur turut menyinggung akan apa itu manusia paripurna dalam berbagai kitab suci termasuk Islam.

Keunikan buku ini terletak pada penyajian yang khas dengan bahasa yang lebih “Islami”sehingga mudah dipahami oleh orang Islam terutama kalagan pesantren. Gus Dhofir berhasil meramu buku ini dengan berbagai istilah yang membuat kita lebih dalam merenung dan menemukan makna. Serta memerikan pemahaman yang konstruktif terhadap dunia timur yang selama ini kita anggap remeh.

Mengenai kelebihan buku ini, penggunaan bahasa yang ringan dan mudah dipahami turut membantu bagi orang-orang pemula dalam mempelajari Filsafat. Serta dengan adanya tabel rentang waktu yang membuat kita dapat masuk dalam narasi “manaqib” yang diceritakan oleh Gus Dhofir. Namun beberapa istilah yang terdengar baru dalam kearifan setiap pemikiran perlu menjadi pemahaman penegasan bagi pembaca. Dan dalam proses editing masih terdapat beberapa penulisan yang “typo”yang patut menjadi evaluasi.

Terakhir dari kami, meski buku ini renyah dan asyik, ada baiknya harapan dari kami agar direproduksi ulang dengan narasi yang lebih relevan untuk dekade ini. Karena bagaimanapun buku ini sudah menjadi “sangat langka” sehingga kerap menjadi bahan bajakan bagi oknum yang kurang bertanggung jawan. Dan syukurnya kami masih menemukan produksi original yang dijual terbatas. Saya yakin apabila buku ini diproduksi ulang akan menjadi “trending” bagi beberapa masyarakat Indonesia kedepannya.

Judul Buku: Filsafat Timur: Sebuah Pergulatan Menuju Manusia Paripurna

Penulis: ACH. Dhofir Zuhry

Penerbit:  Madani (Kelompok Penerbit Instrans)

Tahun Terbit: Desember 2013 (Cetakan Ke-2)

Tebal Halaman: 242

Loading

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *